My photo
Mencari jawaban yang tertindih reruntuhan.

Friday, March 16

Good night, Dimar


“Kau tahu berapa banyak bintang yang ada dilangit sana ?”
“Tidak, aku tak pernah menghitungnya”
“Kau tak ingin tahu ?”
“Tidak, sebelum kau menanyakan ini kepada ku”
“Jadi sekarang kau ingin tahu ?”
“Iya. Dan aku berharap kau mengetahuinya”
“Harapan mu sia-sia. Aku tak mengetahuinya”
“Lalu mengapa kau menanyakan ini kepadaku ?”
“Aku ingin menghitung semua bintang itu bersamamu”

‘Bukankah indah jika kita bersama-sama menghitung bintang di malam ini ?’ batin ku berbicara. Dimar memeluk ku semakin erat, mungkin dia mengerti. “Erena, kau menggoda ku ?” tanya Dimar sedikit tertawa.

Ini bukan sabtu malam, aku tak menikmati sabtu malam. Ini minggu malam.
Ini bukan di cafe, taman ataupun tempat-tempat lainnya. Ini di teras kamar ku, lantai dua rumah ku.

“Aku tak menggoda mu. Kamu saja yang terlalu ke-GR-an” jawab ku, lirih.
“Baiklah, kita abaikan soal bintang-bintang ini. Apakah kau pernah menghitung ?”
“Menghitung apa maksud mu ?”
“Menghitung seberapa besar cinta dan kasih sayang ku kepada mu. Pernahkah ?”
“Aku tak mau menghitungnya. Akan aku biarkan cinta mu terus bertambah banyak kepadaku, seperti cintaku kepadamu.”

Dimar tertawa lagi, kini dengan bebas. “Erena, kau ini kenapa ?” Tanya Dimar melepas pelukannya dan menatap mataku dengan senyum lebar. Aku tak menjawab apapun, aku hanya diam menatap matanya. “Erena, kau baik-baik saja ?” Tanya Dimar lagi, sedikit khawatir dengan ke-diaman ku. “Aku mencintai mu” Jawab ku pelan.

Dimar menatap mataku lagi, kini begitu dalam. Dia mencium bibir ku, lembut. “Aku juga mencintai mu” Katanya, melepas ciumannya.

Kami saling menatap, Dimar tersenyum.

“Aku tak mau tahu ! Jika aku hamil, kau harus tanggung jawab !” Kata ku, sedikit marah.
“Hey, berciuman tak akan membuat hamil” Dimar tertawa lagi.
“Aku tak mau tahu !” Jawab ku, sambil memalingkan wajah.
“Baiklah. Aku akan bertanggung jawab dengan menikahimu jika nanti kau hamil”
“Kau janji ?”
“Janji. Bahkan, jika aku harus menikahimu sekarang, aku siap”

Dimar kembali memeluk ku, kini begitu erat. Dimar adalah kekasihku, lelaki terhebat ke-dua setelah ayahku. Dia mencintaiku, aku pun begitu.

“Bila ibu merestui” Jawab ku “Aku tak mengerti kenapa ibu tidak merestui kita” lanjut ku menatap wajah Dimar.

Dimar menghela nafas “Andai saja aku tak terlahir di panti asuhan. Andai saja aku mempunyai keluarga yang bisa menjagaku dan membesarkan ku, aku pasti tak harus jadi seperti ini. Berkeliaran di jalan, menjadi pedagang asongan, menjadi tukang koran, atau menjadi pencuri di bis kota. Jika aku berada di keluarga yang benar, ibu mu pasti merestui” Jawab Dimar.
“Kau membahasnya lagi, Dimar”
“Erena, ini kenyataan. Ibu mu pasti tak ingin kau berhubungan dengan lelaki yang tinggal dijalanan”
“Aku tak peduli”
“Tapi ibu mu peduli”

Angin berhembus, sangat dingin, angin malam yang dingin.

“Ibu mu sangat peduli, Erena” Dimar melepas jaketnya, memakaikannya kepadaku. “Kau kedinginan ?” lanjutnya.
“Dimar, kau akan pergi ?”
“Pergi ? Dari mu ? Tak akan pernah”
“Kau akan tetap tinggal walau tanpa restu ibu ku, kan ?”
“Tentu, Erena. Tapi  nanti, aku akan menunjukan kepada ibumu bahwa aku layak untuk bersamamu”
“Caranya ?”
“Aku akan menunjukan seberapa besar cinta ku kepada mu. Aku akan membawa ribuan bunga dengan berbagai jenis. Aku akan membawa emas yang banyak. Suatu saat nanti”

“Kau bercanda ?” Jawab ku, tertawa.
“Erena, aku serius. Lihat saja nanti”

Malam begitu panjang, kami terus berbincang. Dimar menjadi bintang di malam-malam ku, dia menjadi penghias hari ku. Aku tahu dia menyayangiku, buktinya sudah 1 tahun lebih dia bersama ku. Aku senang bisa menjadi kekasihnya, aku mendapat cinta yang begitu tulus darinya. Damar masih memeluk ku, jaketnya masih ada ditubuh ku. Entah berapa lama kami berpelukan, tapi aku tak ingin melepasnya.
Ayam berkokok.

“Kau dengar itu ?” Tanya Dimar, “Apakah ini sudah pagi ?”
“Aku tak tahu”
“Pukul berapa sekarang ?”
“Satu malam”
“Apa ?”
Dimar melepas pelukannya, “Kau harus tidur, Erena”
“Tidak, aku masih ingin bersamamu”
“Ini sudah jam satu malam, Erena. Besok pagi kau harus pergi sekolah”
“Aku tetap tidak mau”

Dimar tak menjawab apapun, angin malam kembali berhembus disertai suara ayam yang berkokok.

“Baiklah ...” Dimar berdiri, dia menghela nafas.
“Hey apa yang kau lakukan ?” Tanya ku kaget, Dimar tiba-tiba menggendong ku.
“Aku akan membawa mu ke tempat tidur, kau harus tidur”
“Aku tak mau”
“Harus mau, kau harus patuh padaku”
Jawabnya sambil berjalan masuk ke kamar ku.

Dimar memasuki kamar ku, dia berjalan begitu pelan. Dimar menghampiri tempat tidurku, meletakkan ku di atas tempat tidur itu dengan hati-hati. Menyelimuti ku dengan selimut yang lembut. “Kau tahu, Erena ? Malam ini malam yang paling indah. Aku mencintaimu” Kata Dimar sambil mencium keningku. “Tidur yang nyenyak, mimpi indah, aku akan pulang” Lanjut Dimar mengelus pipiku.

Dimar pergi dari kamar ku, menuruni loteng rumah melalui tembok tinggi, melewati pagar rumah. “Good night, Erena. Aku mencintaimu” Teriak Dimar sambil berlari untuk pulang.

‘Aku mencintaimu juga. Good night, Dimar’