Ambu sedang duduk di depan rumah ditemani sang surya yang mulai malu-malu. Ambu duduk dikursi rotan sambil menyapa tetangga yang lewat di depan rumahnya. "Mau kemana? Masuk dulu sini!", teriak Ambu pada mereka yang melewati rumahnya. Ada beberapa yang menjawab sambil memberhentikan langkahnya sehingga tercipta obrolan kecil dari balik pagar. Ada juga yang hanya menjawab "Nanti saja ya, Ambu!" sambil terus berjalan. Tapi Ambu tetap duduk di kursi rotannya.
Surya semakin malu-malu, membuat langit menjadi merah kejinggaan. Kini didepan rumahnya hanya dilewati oleh kucing-kucing tak berkalung. Mereka berlari dan terkadang hanya meringkuk lelah. Ambu lalu mengambil secangkir teh, tanpa gula, dari meja di samping kursinya. Saat akan meminum tehnya, tiba-tiba air matanya mengalir. Ambu teringat yang telah hilang.
Ambu harus menyimpan kembali cangkir tehnya sehingga ia bisa menyapu tetesan air matanya. Ambu tak mau menjelaskan apa yang dipikirkannya ketika seseorang bertanya ada apa padanya. Lalu Ambu menatap langit yang kini menjadi merah gelap. Di atasnya terlukis wajah yang samar karena sudah 20 tahun tak terlihat lagi. Yang terlihat jelas hanyalah belahan rambutnya juga kaos bergambar kucing diatas sebuah kapal yang terakhir dikenakan.
Setiap sore, Ambu akan duduk di depan rumah, berharap yang dinantikan kembali pulang. Buah hati, satu-satunya, yang entah kemana 20 tahun silam. Ambu mencoba untuk selalu tegar, meskipun hatinya meronta-ronta ingin mengetahui kemana anak umur 6 tahun itu pergi. Ambu tak pernah mengganti cat rumahnya, bentuk rumahnya pun masih sama. Ambu yakin anaknya akan pulang, sehingga ia harus mengenali rumah yang pernah ditinggalkannya.
Seingat Ambu, anaknya hanya bermain mobil-mobilan di depan rumah. Ambu menyaksikan keasyikan anaknya di kursi rotan yang sama 20 tahun lalu. "Kami sedang menunggu Abah pulang", kata Ambu setiap menceritakan detik-detik kehilangan anaknya. Namun saat itu, teh di dalam cangkirnya habis, sehingga Ambu harus mengisi kembali cangkirnya di dapur. Saat akan kembali ke teras rumah, terdengar suara pagar terbuka. Ambu mengira itu Abah yang membawa ayam goreng pesanan anaknya. Ternyata tidak ada siapa-siapa, hanya ada mobil mainan dan juga pagar yang terbuka. Ambu kehilangan.
"Sudah mau magrib, Ambu... Ayo siap-siap shalat magrib...", suara yang bergetar memanggil Ambu bersama tangan yang merangkul pundaknya. Abah dengan lembut mengusap pundak Ambu, memberi ketenangan pada Ambu yang hatinya hampir saja runtuh. Meskipun enggan untuk mengakhiri penantiannya, Ambu tahu semua ini sudah ditakdirkan. Maka Ambu beranjak dari kursi rotannya dan memasuki rumah untuk menyampaikan doa. Karena Ambu tahu pula, bahwa doanya akan menjadi makanan jika anaknya kelaparan, doanya akan menjadi selimut jika anaknya kedinginan, dan doanya akan menjadi penerang jika anaknya sudah mencapai barzakh.