My photo
Mencari jawaban yang tertindih reruntuhan.

Monday, June 10

Bianglala #3

Bianglala, wahana yang paling didambakan di pasar malam, aku dan Duto menaikinya, sama  seperti pasangan remaja lainnya di malam itu. Bedanya, aku dan Duto bukan pasangan. Di atas bianglala kami dapat melihat air sungai yang dipenuhi pantulan cahaya lampu. Kami menghabiskan gulali bersama sambil bercanda, mengambil foto dan berbincang.

Banyak perbincangan yang kami lakukan, sampai pada akhirnya ketika aku dan Duto berada di puncak bianglala, dia bertanya “Kita mulai malam ini yah ?”. Kalimat yang sebenarnya tak tentu arti, namun membuatku ingin jatuh dari puncak bianglala ini, detik itu juga. Ketika lamunan memberi ku banyak cara untuk segera lompat dari puncak bianglala ini, dia, Duto, berkata “Maksud Duto, hubungan kita, kita mulai malam ini. Semuanya gimana kamu, kamu yang nentuin”.

Waktu berhenti, aliran air sungai berhenti, angin yang dingin pun berhenti, putaran bianglala yang pelan kini semakin pelan dan mulai berhenti, dan dentum jantung ku berhenti. Bagiku, meski langit diterangi bulan, meski angin yang dingin berhembus, dan meski ada seorang laki-laki, ini bukan momen termanis. Bagiku, ini seperti tercekik, seperti jatuh ke dalam jurang, dan habis termakan sang raja hutan.

Aku mulai menatap matanya, mata Duto, menarik nafas dan mulai bertutur kata. “Tidak, Duto” Permulaan ku sambil menggelengkan kepala, “Aku ga mau mulai malam ini, malam besok ataupun malam-malam yang lainnya”. Duto menurunkan lengkungan bibirnya yang tadi sumringah kini menjadi tidak sumringah, “Kenapa ?” tanyanya seperti kesal. “Aku takut berada di hari dimana aku bertemu dengan akhir dari apa yang kita mulai”, jawab ku halus.

Duto tidak menjawab, aku mengerti momen ini, dan tidak akan berkomentar seperti apa yang Duto lakukan. Perbincangan tadi membuat waktu menjadi begitu cepat, dan membawa kami ke dasar putaran bianglala. Salah satu petugas bianglala itu berkata pada Duto, “satu putaran lagi, mas”. Duto mengangguk dengan matanya yang berangan ke lantai bianglala yang kami tumpangi.

Bagai petir tanpa kilat, Duto berkata “Jangan egois. Kalo kamu takut dengan akhir, kapan kamu mau memulai ? Ada satu putaran lagi untuk ku agar aku dapat jawaban dari kamu. Mau jawaban yang sama atau tidak, aku tunggu di akhir putaran”

Egois ? Rasa takut ku adalah egois ? Rasanya gatal, ingin menampar wajahnya, mendumpal mulutnya dan berteriak di gendang telinganya bahwa aku tak egois. Namun berbagai pikiran muncul, mungkin saja memang sang egois ku bertopeng berperan menjadi rasa takut ku. Andai saja aku menjadi petugas bianglala ini, akan ku hentikan putarannya, agar akhir putaran tak akan pernah ada. Namun bianglala hanyalah bianglala, berputar perlahan, menaikan dan menurunkan. Jawaban yang seperti apa yang akan aku tuturkan padanya, Duto.

Sudah setengah putaran, hanya tinggal menunggu petugas bianglala menurunkan ku, putaran terakhir selesai. Dan jawaban ku akan terpaparkan.

Bianglala berhenti berputar. Petugas bianglala membuka pintu bianglala yang kami tumpangi, aku sudah bersiap untuk keluar, namun Duto masih terduduk dan menatap ku. Aku tak memperdulikan, lalu keluar. Duto mengikutiku, dia berdiam dihadapanku lalu tersenyum. “Aku mengerti, mari pulang” katanya sambil membalikan badan.


Ku raih tanganya, ku hadapkan wajah ku di depan wajahnya, angin yang dingin bersemilir, air sungai berdesir, dan aku berkata; “Aku tak egois, Duto. Mari kita mulai”. Bianglala yang tadi berhenti berputar, kini berputar kembali meski perlahan.

Sunday, June 9

Bianglala #2

Sampai pada akhirnya, aku dan Duto saling berkomunikasi. Aku rela membalas pesannya yang dulu aku anggap risih, namun kali itu menjadi sebuah penghibur untuk ku. Meski, ya, hanya sebuah pesan yang berisi kata hello-pun.

Hampir 1 bulan aku mengenal Duto, aku yang memang suka dengan kedewasaannya semakin kagum saat tahu kedewasaannya yang sebenarnya. Tapi, aku tak tahu, apakah Duto kenal aku se-kenal aku padanya. Dari dulu, aku tak pernah mengerti pikiran laki-laki.

Dia, Duto, terkadang mengantar ku sekolah, menjemput, menemani ku pergi, menghibur, membuat ku marah, membuat tertawa, dan banyak lagi ulahnya. Dan itu menjadikan ku memiliki sebuah kesan terhadapnya.

Aku mengerti, apakah aku akan memulai untuk sesuatu yang memang sudah ku ketahui akhirnya ? Namun, inilah sihir laki-laki, sebesar apapun rasa takut mu, dia akan membuat mu aman. Pada awalnya.

Aku selalu menyukai momen ini, ketika aku duduk dibelakang punggung seorang pengemudi motor, dan itu Duto. Aku suka, karena ketika angin yang besar menabrak tubuh Duto, dia membawa wangi parfum Duto. Dan aku, wanita remaja yang entah ke berapa, memiliki malam yang suka.

Jalan yang kami tempuh begitu gelap dan dingin, namun diperempatan jalan terlihat keramaian, dan aku yakin di ujung jalan itu pasar malam sudah menunggu. Dari kejauhan aku melihat bianglala yang besar, berputar perlahan, dibawahnya aku hanya melihat atap dari ruko-ruko yang menjual banyak barang. Tak sabar.

“Sampai deh, mau beli apa ?”
“Aku mau gulali, Duto”
“Boleh, tapi wajib naik itu”
“Ga!”
“Ga naik ombak banyu ga ada gulali”

Begitulah Duto, terkadang di parkiran pun dia sudah membuat ku kesal. Dan aku baru tersadar, ternyata pasar malam ini berada di pinggiran sungai. Tepat di samping parkiran. Pantas saja jalan tadi sepi.

Aku senang, dan aku yakin Duto juga senang. Dari cara dia berjalan, berbicara, bercanda, bahkan pada saat pura-pura marah pun aku tahu bahwa malam itu dia senang. Duto membelikanku gulali, tanpa harus menaiki ombak banyu. Aku mengerti cara Duto memanjakan ku.