Aku terbentuk menjadi manusia yang selalu menghindar untuk bercerita pada siapapun. Aku sempat memiliki trust issue karena cerita yang hanya aku ceritakan pada 1 orang tersebar ke banyak teman lain dan sekaligus menjadi olokan. Sejak itu, aku menutup cerita.
Sedari 2014, banyak benturan dikehidupan ku. Membuatku memar, kadang luka, kadang berdarah, kadang patah tapi selalu tak bisa berteriak. Aku selalu ingin tumpah, ingin meluap, tapi ternyata aku tetap menutup cerita.
Aku selalu mencari kesibukan, terpenting harus pergi pagi dan pulang malam. Beraktifitas ketika banyak orang tertidur dan tidur ketika banyak orang terbangun. Menghindar untuk bertemu sesama, memutuskan untuk bersendiri dan menjadikannya cara untuk tetap merasa hidup.
Kebersamaan dengan manusia lain menjadi tekanan untukku, membuat ku merasa sempit, pengap bahkan terkadang merasa tertindih. 1 manusia mampu membuatku berekspektasi berjuta-juta kali dan itu yang membuatku pengap, aku tak pernah sanggup. Sering menghindari pertemuan, sekaligus bercemburu karena tak bisa ikut bertemu dengan yang lain. Arogan? Setuju.
Sejak benturan pertama muncul, tulis-menulisku berhenti. Blog seakan mati tak lagi mengalirkan kata-kata dari segala perasaan. Namun, bersendiri masih terus kujalani, kini bersendiri menjadi candu.
Maka pada keramaian jalanan, aku mencoba tumpah tanpa harus membuat orang lain basah. Pada bersendiri diatas roda dua, aku meluap baik cerita maupun air mata. Bersendiri tapi dibersamai dengan banyak suara mesin, kadang dibarengi dengan deras hujan. 3 tahun berkelanjutan, tiap malam hari menuju pulang, Cipaganti masuk ke list tempat bersendiri favoritku.
Kini 6 tahun berlalu, benturan itu masih selalu ada, hanya saja kini aku belajar untuk bisa tumpah ditempat yang tepat. Salah satunya; menulis.