Juni yang lalu, masih tercium bau parfum dari kaos hitam, masih terdengar pekikan tawa dari canda-canda yang membunuh kesunyian, masih pula terdengar langkah-langkah kaki yang menjauh pergi.
Di Juni sore lalu, tak hanya bayangan yang menjadi teman. Kau menjadi satu pelabuhan bagi ku. Melangkah bersama mengantarkan ku dalam dekapan menuju batas pemisah.
Masih di Juni lalu, ketika kita masih dapat bertatap muka, kau menjadi teman penghapus air mata. Ketika tangan mu masih menjaga ku pada malam-malam kelabu.
Wahai cinta terindah, aku masih dapat melihat mu walau seperti yang kau katakan, aku dapat melihat mu "meski dalam mimpi yang kata orang semu". Dalam mimpi yang menggantung semu, aku merasakan dekapan hangat tangan seorang penjaga hati. Aku melihat raut wajah seorang pemimpi dengan kucuran peluh. Aku masih dapat melihat mu, meski dalam mimpi yang kata orang semu.
Aku tahu, malam akan selalu gelap, tapi siang tak selamanya terang. Aku berkata begitu lugu seperti siang yang sendu. Kini tangis tak lagi menjadi pelepas sakit, meskipun kau menangis menjerit-jerit. Kata bukan lagi pengungkap rasa. Hanya mimpi yang kata dia, mereka dan dirimu semu, yang menjadi satu tempat peraduan kisah cinta antara seorang Romeo dan Juliet.
"Kau masih ingat ketika tangan mu menggenggam tangan ku, ketika kita berada di batas waktu ? Aku tak mau melepasnya. Saat itu aku benar-benar ingin menangis dan aku benar-benar tak mau merasa sendiri". Kau hanya diam, menunggu angin berhenti berhembus, dan berucap "Kita pasti kuat, sayang".
Kesendirian masih menjadi sebuah momok bagi ku, menjadi sebuah rasa sakit yang menyayat hati, kepercayaan dan cinta seorang kekasih. Namun kau, penjaga hati, menjadi sebuah obat bagi luka-luka sayatan yang bercucuran darah merah kental.
Bukankah cinta ini tak pernah mati meski terkubur dalam hati ? Bukankah kita masih dapat bercumbu di mimpi-mimpi penenang hati ?
Wahai cinta yang berada jauh, tunggulah para bidadari yang mendekap rindu seorang kekasih. Sajikan secangkir cinta pada mereka dan bawalah rindu yang mereka dekap. Peluk lah rindu ku yang pasti kian memburu. Aku menunggu bersama bayangan hangat, bersama cinta yang teraduk dalam secangkir rindu.
Satu, dua, tiga, empat, lima hari aku lalui dengan kepercayaan penuh dan dengan kenangan yang kudekap dalam hangatnya senja. Satu, dua, tiga, empat, lima minggu kau menjadi pengatur hati dikala siang yang terang dan di malam yang padam. Dan kini, di dua belas bulan ini, kau dan aku mengecup kata, memeluk suara, dan membentang rindu.
Jingga cakrawa membentang disepanjang pandangan, awan-awan yang putih kini meoranyekan diri. Saatnya menutup pintu dari dinginnya malam yang dijemput senja. Tetaplah menunggu para bidadari pembawa rindu, mari kembali menghitung waktu yang berlalu. Aku tetap rindu mencintaimu.
Rindu yang tak pernah mati
Dalam Juni yang dinanti