Aku selalu berfikir, malam dimana langit diterangi cahaya
bulan dan angin yang dingin adalah momen termanis untuk wanita. Tentunya jika
ada seorang laki-laki. Tapi bagiku, ini menjadi momen yang paling sulit.
Sudah lebih dari 1 bulan aku dan Duto dekat, dia lebih tua 2
tahun dari ku. Dia memang dewasa, tapi terkadang kekanak-kanakannya muncul.
Bahkan pada waktu yang tidak tepat. Aku kenal Duto dari sepupuku, Aldi. Dia
mengenalkanku dengan Duto, lalu berbagai cerita muncul. Seperti itulah, sama
seperti cerita remaja lainnya.
Malam itu dia mengajak ku bermain ke sebuah pasar malam, dan
dia menyadari apa yang harus ia lakukan untuk mengajak ku pergi. Awalnya, aku
ragu Duto akan berani meminta ijin kepada orang tua ku. Namun, dialah Duto,
yang berani mengucap sumpah serapah agar orangtuaku percaya bahwa Duto akan
menjaga ku dengan baik.
Aku masih mengingatnya, sweater berwarna coklat, dan
wanginya yang khas. Aku masih mendengar bagaimana suara jantungnya yang
berdentum. Dan aku juga suka dengan suaranya yang serak.
Setelah aku dan Duto saling mengenal, dia selalu mengirimku
sebuah pesan. Tidak siang, tidak malam, handphone ku selalu berbunyi, pertanda
pesan berisi ucapan selamat pagi, selamat malam, sudah bangun ?, sudah tidur?,
selamat belajar, happy Monday, happy Sunday,
bahkan kata hello-pun sampai. Risih.
“Berani juga bilang
ke papah, To”
“Duto kan cowo, wajib berani demi berkencan dengan sang
putri”
“Apasih, sudah tidak musim tau gombal itu”
“Ga pake jaket ?”
“Engga ah males”
“Masuk ke rumah, ambil jaket, baru kita pergi”
“Dutoooo”
“Now or never ?”
Setelah itu, setelah aku satu kata pun tak pernah membalas
pesan Duto, dia tak pernah mengirimiku pesan. Aku pikir dia cape, atau mungkin
bosan. Namun, di akhir pekan, Aldi datang ke rumah bersama Duto. Di hari itu
aku berbincang, bercanda, belajar bahkan menonton film bersama. Hanya hari itu,
namun begitu bahagia.
Aku mengerti, jika seperti ini kejadiannya, cerita ini akan
berlanjut panjang, namun akan berhenti di satu akhir cerita yang sama.