My photo
Mencari jawaban yang tertindih reruntuhan.

Tuesday, July 1

Sebuah Phobia Baru

Aku sedang merindukan suara tertawa kita yang biasanya bergema ke seluruh ruangan. Aku juga sedang merindukan saat kita makan siang di bangku kantin yang sama. Aku merindukan kalian. 

Tapi aku menyesal telah berteman dengan kalian, ada begitu banyak kisah yang membuat ku bahagia. Ini membuat perpisahan kita menjadi sebuah phobia ku yang baru. Ada seperti rasa sakit saat tahu kita tak akan berjumpa setiap hari lagi, dan nantinya kita akan butuh penjadwalan untuk sekadar bertatap muka. Terdengar begitu menyakitkan, bukan ?

Dari 7 miliar jiwa penghuni dunia ini, Tuhan ternyata mentakdirkan ku sejiwa dengan 11 orang seperti kalian. Tuhan menulis nama kita di satu lembar yang sama, lembar kebahagian. Dan aku sungguh berterima kasih pada Nya, karena takdir ini menjadi sebuah awal cerita kita yang panjang.

Kita tak pernah marah pada mereka yang katanya iri. Kita juga tak pernah acuh dengan kata-kata mereka yang sebenarnya begitu menyayat hati. Hal yang perlu mereka ketahui, kita tak pernah berpesta topeng. Kita tetaplah kita. 

Terkadang, kalian seperti kopi yang hitam lekat. Pahit. Namun, itulah yang dinikmati oleh para lelaki berkulit hitam dan berkumis tipis. Mereka bilang, kopi hitam mempunyai rasa yang berbeda. Pahit namun nikmat. Kepahitan itulah yang membuat cerita kita lebih terasa nikmat.

Aku harap cerita kita ini bisa seperti matahari, yang meski tenggelam di langit timur dia akan bangun dengan cahaya baru di sebelah barat. Meski kita berada di ujung cerita, kita akan tetap membuat cerita baru di kehidupan baru kita. 

Jangan lupakan aku, jangan lupakan kita. Bagaimana kalian mampu menghapus segaris saja kisah kita ? Kita akan berjalan bersama meski di jalan yang berbeda. Kita akan sukses bersama meski di pintu yang berbeda. Kita akan bahagia bersama meski di rumah yang berbeda. Aku yakin, Tuhan pun akan membuat kita selalu bersama.

Jikalau aku terlalu menikmati kopi pahit, berjanjilah pada ku kalian akan menambahkan sedikit gula pada cangkir ku.


Monday, April 21

Dentuman Gila

Dalam ruangan semi-besar yang dipenuhi suara gaduh, aku mendengar satu suara yang berirama. Seperti dentang jarum jam namun dengan suara yang lebih bergema. Makin lama ketukannya semakin cepat dan semakin menggebu. Aku mencari dari mana suara itu berasal. Kanan-kiri, atas-bawah, tak ku dapat sumber suara itu.

Yang aku dapat hanya sebuah garis senyuman yang begitu manis, dengan lengkung senyumannya yang begitu indah. Lalu suara dentuman itu semakin cepat dan semakin keras. Apalagi ketika senyuman manis itu memperlihatkan bibir merah cerahnya, suara itu terdengar seperti dentuman kaki para tentara perang.

Dikala garis senyuman itu memudar, suara dentuman itu juga mulai menghilang. Semakin lama suaranya semakin tak terdengar, hilang bersama pudarnya senyuman manis itu dan membuat ku semakin bingung untuk mencarinya. Jika memang suara itu tak mau aku cari untuk apa aku memaksa untuk menemukannya.

Lalu tiba-tiba ada kilauan cahaya yang terpantul dari helaian-helaian rambut yang hitam legam. Dan, ya, suara dentuman tadi mulai terdengar lagi. Awalnya hanya samar-samar namun lama kelamaan suaranya semakin terdengar jelas. Apalagi ketika kilauan cahaya lain datang dari sepasang mata yang cantik, yang menurut ku begitu sempurna. Suara yang ku dengar itu semakin menggebu-gebu.

Anehnya dari 45 orang diruangan ini, sepertinya hanya aku yang mendengar suara misterius ini. Padahal suaranya begitu keras, menyaingi suara gaduh yang mereka buat. Aku kembali penasaran, aku mencari suara itu di semua tempat. Di lembaran-lembaran kertas soal milikku, di kolong meja, di bawah sepatu namun tidak ada tanda-tanda dari sumber suara itu.

Aku kira memang suara ini hanya ingin mempermainkan ku. Ku usap dada ku untuk menenangkan diri. Dan, hey ! Aku menemukannya ! Suara yang aku cari ternyata datang dari dada sebelah kiri ku. Aku merasakan dadaku berdegup dan seirama dengan suara yang ku dengar. Ternyata ini semua ulah jantung ku yang menggila.

Bagaimana tidak ? Aku yakin darah ku teracuni oleh senyuman manis itu. Racun cinta kalau para pujangga bilang. Jantung ini juga pasti merasa ingin memompa dan memompa darah, terus dan terus.

Andai saja wanita pemilik senyuman manis ini, yang duduk tepat 4 bangku di depan ku, mendengar bagaimana kerasnya jantung ku berdentum. Pasti dia tahu bagaimana aku menggilainya.