My photo
Mencari jawaban yang tertindih reruntuhan.

Sunday, November 17

Masalah Orang Dewasa

"Ko aku susah banget ya nyari kerja?", keluh ku waktu itu. "Susah? Jamilah bukan susah cari kerja, ada kerjaan tapi Jamilah kan harus nolak", jawab seorang teman, sambil senyum.

Sudah dewasa, masalah ku bukan lagi soal lelaki atau teman. Kini masalah ku ada di persoalan pekerjaan, persoalan yang sesungguhnya membosankan, tapi kini menjadi penting dan genting. Meskipun belum tau apa yang aku cari di lahan pekerjaan, tapi rasanya beli bakso cuankie pakai uang sendiri adalah suatu kebanggan.

Saat ini aku menjadi salah satu orang dewasa yang gundah karena mendapat pekerjaan diluar kota, eh ga dapet ijin. Dapat tawaran kerja di deket rumah, eh tiap hari cuman dikasih "tunggu, ya". Hal-hal seperti itu yang bikin aku ingin mengeluh. Rasanya ko susah banget, ya?

Jujur, sampai saat ini aku belum pernah sakit hati ditanya hal-hal basi seperti; "lulus kapan?", "kapan nikah?", atau bahkan "makin gendutan ya?". Semuanya bisa aku bodo-amatin dengan hanya menjawab pakai senyuman.

Tapi kemarin ada yang bertanya, "kerja dimana?", lalu ada sepersekian detik dimana tubuhku terasa panas, merinding dan rasanya bingung jawab apa. Lalu aku coba jawab dengan kenyataan, "aku belum kerja, doain yaaaa". Eh dia pergi dengan berkata "waduh".

Saat itu aku hanya senyum, dengan badan yang panas menahan emosi. Rasanya pengen nangis padahal cuman di-waduh-in. Aku tahan, karena dalam hati aku tau orang itu belum tau rasanya mencari kerja. Dan mungkin dia gak akan pernah tau prosesku.

Aku bekerja sana-sini, sekarang juga aku bekerja ngurusin kerjaan orang. Tanpa dibayar. Meskipun kesal, tapi aku ikhlas. Aku kerjakan baik-baik padahal harus kesana-kesini yang ongkosnya aku bayar sendiri. Dari mana? Entah, rezekiku selalu ada dikasih sama Yang Maha Kaya.

Tapi, memang dasar manusia, diri ini merasa kurang. Melihat orang lain yang sudah punya restoran sendiri, kerja dengan gaji yang besar dan teman-teman lain yang ku anggap sudah bahagia. Rasanya ingin protes, ko aku masih dititik ini sedangkan orang lain sudah pada titik yang lain.

Lalu seorang teman memberi tahu, "Syukuri hal yang kamu punya sekarang, karena entah dimana ada orang yang sedang menginginkan posisi kamu sampai berjuang dengan keras". Kata-kata itu bikin mengeluhku menciut. Jadi malu rasanya.

Teman-teman yang masih berjuang dengan skripsinya tentu sudah ingin segera berada di drama pekerjaan ini. Ataupun teman-teman yang sedang bekerja ingin bisa santai seperti ku.

Lalu tambah malu ketika sadar ko aku ingin jalanku lurus-lurus saja. Padahal, mereka-mereka disana punya perjuangannya sendiri. Perjuanganku harus kuat agar hasilku mantap. Ilmuku kurang, makanya Sang Maha Tahu mau aku mengerti banyak hal. Termasuk ilmu berusaha, ilmu ikhlas dan ilmu sabar.

Kemarin, lamaran ku diterima dan dibaca oleh arsitek ternama, email ku dibalas katanya cv dan portfolio ku menarik. Yu job seeker, nikmati aja! Hal membosankan ini terkadang seru!

Sunday, September 15

Hilang

Entah berapa kali dalam setahun, tapi akan ada satu hari dimana ingin ku rapihkan tempat tidur dan kamarku lalu aku kemas beberapa barang. Mungkin beberapa pakaian saja serta buku jurnal ku. Jika sudah, ingin aku meriset ulang handphone hingga tampilan dan isinya sama saat aku pertama memakainya. Tanpa membawa album foto dan juga tanpa menulis surat, aku ingin pergi dari rumah tanpa membawa satu kontakpun di handphone.

Aku ingin pergi jauh, bahkan rasanya tak masalah jika harus menyebrangi pulau. Ada perasaan tak ingin dijangkau. Rasanya, aku ingin berada di lingkungan yang asing lalu ku sapa dengan diri yang sudah tahu mana yang boleh dan mana yang tak boleh. Maka bernafaslah diri yang baru, yang seakan baru saja lahir tanpa memiliki masa lalu.

Jelas setelah itu, akan ada hari dimana aku menyesali kepergian ku, merindukan yang aku tinggalkan. Tapi ya sudah. Rasanya akan hilang saat yang baru lebih seru. 

Lalu diri saat ini tahu, bahwa andai saja semudah itu. Andai semua bisa sesuai dengan ingin ku. Andai benar perasaan ini hanyalah perasaan yang ingin tak terjangkau. Nyatanya, perasaan ini hanya ingin tahu apakah diri ini berharga jika sudah hilang. 

Thursday, July 4

Teringat Yang Telah Hilang

Ambu sedang duduk di depan rumah ditemani sang surya yang mulai malu-malu. Ambu duduk dikursi rotan sambil menyapa tetangga yang lewat di depan rumahnya. "Mau kemana? Masuk dulu sini!", teriak Ambu pada mereka yang melewati rumahnya. Ada beberapa yang menjawab sambil memberhentikan langkahnya sehingga tercipta obrolan kecil dari balik pagar. Ada juga yang hanya menjawab "Nanti saja ya, Ambu!" sambil terus berjalan. Tapi Ambu tetap duduk di kursi rotannya.

Surya semakin malu-malu, membuat langit menjadi merah kejinggaan. Kini didepan rumahnya hanya dilewati oleh kucing-kucing tak berkalung. Mereka berlari dan terkadang hanya meringkuk lelah. Ambu lalu mengambil secangkir teh, tanpa gula, dari meja di samping kursinya. Saat akan meminum tehnya, tiba-tiba air matanya mengalir. Ambu teringat yang telah hilang.

Ambu harus menyimpan kembali cangkir tehnya sehingga ia bisa menyapu tetesan air matanya. Ambu tak mau menjelaskan apa yang dipikirkannya ketika seseorang bertanya ada apa padanya. Lalu Ambu menatap langit yang kini menjadi merah gelap. Di atasnya terlukis wajah yang samar karena sudah 20 tahun tak terlihat lagi. Yang terlihat jelas hanyalah belahan rambutnya juga kaos bergambar kucing diatas sebuah kapal yang terakhir dikenakan.

Setiap sore, Ambu akan duduk di depan rumah, berharap yang dinantikan kembali pulang. Buah hati, satu-satunya, yang entah kemana 20 tahun silam. Ambu mencoba untuk selalu tegar, meskipun hatinya meronta-ronta ingin mengetahui kemana anak umur 6 tahun itu pergi. Ambu tak pernah mengganti cat rumahnya, bentuk rumahnya pun masih sama. Ambu yakin anaknya akan pulang, sehingga ia harus mengenali rumah yang pernah ditinggalkannya.

Seingat Ambu, anaknya hanya bermain mobil-mobilan di depan rumah. Ambu menyaksikan keasyikan anaknya di kursi rotan yang sama 20 tahun lalu. "Kami sedang menunggu Abah pulang", kata Ambu setiap menceritakan detik-detik kehilangan anaknya. Namun saat itu, teh di dalam cangkirnya habis, sehingga Ambu harus mengisi kembali cangkirnya di dapur. Saat akan kembali ke teras rumah, terdengar suara pagar terbuka. Ambu mengira itu Abah yang membawa ayam goreng pesanan anaknya. Ternyata tidak ada siapa-siapa, hanya ada mobil mainan dan juga pagar yang terbuka. Ambu kehilangan.

"Sudah mau magrib, Ambu... Ayo siap-siap shalat magrib...", suara yang bergetar memanggil Ambu bersama tangan yang merangkul pundaknya. Abah dengan lembut mengusap pundak Ambu, memberi ketenangan pada Ambu yang hatinya hampir saja runtuh. Meskipun enggan untuk mengakhiri penantiannya, Ambu tahu semua ini sudah ditakdirkan. Maka Ambu beranjak dari kursi rotannya dan memasuki rumah untuk menyampaikan doa. Karena Ambu tahu pula, bahwa doanya akan menjadi makanan jika anaknya kelaparan, doanya akan menjadi selimut jika anaknya kedinginan, dan doanya akan menjadi penerang jika anaknya sudah mencapai barzakh.

Tuesday, March 19

Setelah ini, ada apa, ya?


Selama proses, aku sering mengeluh, sering merasa lelah bahkan sering ingin menyerah. Tidak menyangka bahwa prosesnya akan seberat itu. Tidurku kurang, mainku kurang dan uang jajan juga berkurang karena harus aku sisihkan untuk print gambar. Menyebalkan karena kadang iri dengan instagram stories teman-temanku yang isinya menggambarkan asiknya ngopi bareng. Rasanya ingin berhenti, tapi selalu malu dengan orang tua dan teman-teman yang selalu menyemangati. Kini, rasanya begitu manis karena ternyata aku bisa melewatinya.

Setelah ini, ada apa, ya?

Wednesday, February 6

Kini, aku hanya bertumpu pada diriku sendiri.
Mulai kini, harus bisa menerima diri sendiri. Meski sulit.
Menjadi baik untuk diri sendiri.
Karena baru disadari, aku hanya sesal bagi orang lain.