My photo
Mencari jawaban yang tertindih reruntuhan.

Sunday, November 24

Terburuk dari #KehidupanLDM

Aku terus menerus menarik tuas rem, hujan tadi membuat jalanan Sukajadi dilewati air keruh dan membuat kendaraan berjalan pelan seakan takut terbawa arus air yang sebenarnya tak berbahaya karena dangkal dan lambat. Perjalanan pulang menjadi sangat lama, aku sudah tidak sabar membuka paket yang baru sampai rumah siang tadi.

Mainan blind box dari pop mart yang akhir-akhir ini muncul di platform tiktok membuatku menginginkannya. Benda mungil yang sepertinya lucu, lembut dan menggemaskan seakan mengemis memintaku membelinya. Sebagai orang yang sangat selektif dalam membeli barang, tentu mainan yang sebenarnya gantungan kunci ini tidak lolos sebagai barang yang patut dibeli. Tapi semakin hari, semakin termakan egoku oleh video mainan ini. Iseng izin ke suami untuk membeli satu, berharap dia akan melarang ku dan menyuruhku menahan ego. Suami dengan baik hati malah menyuruhku membelinya, cukup dengan syarat aku harus senang. Dalam hitungan menit, gantungan kunci ini sudah dalam proses pengemasan. Dan hari ini, paketnya sampai.

Sungguh, suamiku yang kini berjarak ribuan kilometer bisa selalu membahagiakan istrinya. Jangankan hal-hal kecil, kewajibannya sebagai suamipun bisa ia lakukan dari jauh. Masya Allah, Alhamdulillah. Tapi, bagaimana dengan aku?

Sesaat setelah menikah, dalam diskusi mengenai ber-rumah tangga jarak jauh, aku bertanya bagaimana caraku bisa berbakti pada suami sedangkan kami berjarak? Aku adalah perempuan yang ingin bisa berbakti pada suami. Ingin sekali setiap pagi bisa memberinya secangkir teh hangat atau coklat panas untuk menenangkan perutnya supaya bisa menunggu sarapan yang aku buat. Ingin sekali memberinya piring dengan penuh makanan di setiap jam makannya. Ingin sekali mengemas bekal dan minuman untuk ia bawa ke tempat kerja. Aku hanya merasakan ini selama 1 bulan, sisanya aku hanya bisa meminta maaf karena ia harus melakukannya sendiri.

Setiap malam, sesaat setelah ia sampai ke apartemen, suami selalu menyempatkan melakukan panggilan video. Kadang kami bercerita tentang hari kami, kadang kami hanya memberi kabar sedikit, kadang kami diam-diaman melakukan aktifitas masing-masing, tapi yang selalu aku dengar adalah bunyi perutnya yang merintih kelaparan. Suami terlalu lelah sampai tak sanggup untuk membuat makanannya sendiri. Sering kali ia harus menyantap mie kemasan, kadang ia baru membuatnya jam 11 malam, saat rasa laparnya lebih besar dari rasa lelahnya.

Belum lagi saat ia sakit atau saat ia merasa kesepian diperantauan, aku sungguh tidak bisa melakukan apa-apa. Sebagai istri, aku tak melakukan kewajibanku untuk berbakti padanya. Hal paling menyakitkan yang harus bisa aku terima sebagai istri yang terasa kurang fungsi.

Dalam diskusi waktu itu, "gimana caranya aku bakti sama kamu?" tanyaku. "Percaya sama aku", jawabnya cepat. Karena suami sudah paham, bahwa modal hubungan jarak jauh adalah percaya dan bisa dipercaya, memberinya modal kepercayaan menjadi salah satu kesempatanku untuk berbakti padanya.

Semoga Allah segerakan kami bisa selalu berdekatan. Aamiin
#KehidupanLDM


Friday, November 15

Seperti ini LDM itu #1

Sebelum pulang ke Bandung, aku memaksa untuk meminta parfum yang sering suami pakai agar bisa aku simpan, "biar kalo aku kangen kamu, aku tinggal semprot. So at least i can smell you!". Suami nurut saja dengan berakhir harus membeli botol parfum baru. Memang dasar cinta istri, saat mau merantau lagi berdalih kopernya penuh, suami pun simpan jaket yang sering dia pakai supaya aku bisa pakai kalo lagi kangen. Bener, kan? hahaha

Waktu dan tempat dipersilahkan, kangen itu pun tiba.

11 malam, tiba-tiba nangis sambil bangun dari kasur dan langsung pakai jaket suami sambil semprot beberapa kali parfumnya. Berniat bisa ngurangin kangen, malah lebih menggila. Kalo bisa terbang, terbanglah sudah. Tapi aku hanya bisa nangis sambil cium-cium wanginya.

Ingin telfon suami, tapi ini jam 1 shubuh disana. Aku coba tahan sambil menonton apa saja yang ada di layar handphone, kadang menyelami tiktok kadang swipe story instagram. Tidak pula kangen ini beranjak pergi. Akhirnya, 12 malam, terhitung jam 2 shubuh disana, sambil penuh rasa tidak enak karena pasti akan mengganggu tidurnya, aku melakukan panggilan video padahal tahu betul dia besok masih harus bekerja.

Diangkat, "kenapa?" tanya suami sambil matanya membuka sedikit karena silau layar handphone. Aku cuma bisa diam. "Kenapa mil?", tanya suami lagi saat sadar mata istrinya ini sudah memerah dan air matanya mau tumpah. "Kangennnnnn", kata itu keluar juga.

Nangislah aku sejadi-jadinya sambil memperlihatkan jaketnya yang sedang aku pakai, "ternyata ga ngaruh, malah bikin makin kangen". Suami bingung mau menanggapi apa, dia cuman jawab "sabar, ya".

Jika bisa dijabarkan, perasaan ini mirip seperti ingin makan sate, sudah pergi naik motor ternyata abangnya ga jualan. Mirip juga seperti sudah menabung untuk beli sepatu baru, tapi sepatunya discontinue. Atau sudah mengantri 30 menit untuk sebuah roti, ternyata sold out saat kita mau pesan.

Sejak saat itu, aku sadar ternyata kangen sama suami itu berbeda sekali. Entah kenapa ada rasa patah hati, karena sebagaimanapun aku kangen, aku benar-benar hanya bisa bersabar. Rasa kangen yang ga bisa diapa-apain, hanya tumbuh saja terus menerus sampai nanti berbunga pada waktunya. Insya Allah, secepatnya.