Pada satu malam, mamah menangis. Suara tangisnya menusuk telinga, menyayat hati, mengiris jiwa, membakar seluruh badan. Aku diam, membiarkannya menangis sendirian.
Malam kedua, mamah kembali menangis. Suara tangisnya menyebrang dari kamarnya ke kamarku, memaksa masuk ingin menginjak-nginjak perasaanku. Kali ini, aku hampiri. Memegang tangannya dan menangis bersama, sampai tertidur.
Malam ketiga, mamah menangis kembali, kini terdengar dari ba'da magrib. Suaranya bergema semalaman, memukul-mukul gendang telinga membuatku bangun dan menghampiri. Kali ini aku tanyakan perihal apa yang mamah tangisi. Seketika tangisnya makin melengking.
Malam keempat, mamah menangis lagi. Suaranya mengikis kesabaran, membuatku berteriak dan memaksanya untuk berhenti bersedih, menekannya untuk tidak menangis dan mendesaknya untuk segera sembuh sendiri. Tangisnya makin menjadi.
Malam kelima, tak kunjung reda, mamah kembali menangis. Terulang, setiap hari, bertahun-tahun. Maka biarkan Ia menangis, semoga air matanya menghapus sedikit demi sedikit luka di hatinya.
Mamah tidak sadar seberapa kuat Ia selama ini, memikul semua perasaannya sendirian. Membela dirinya sendiri, mengangkat harta martabatnya yang orang injak-injak. Sedikit yang bisa Ia lakukan, banyaknya hanya menangis setiap malam.
Sering aku mengeluh lelah mendengar tangisannya, tapi sungguh, tak ada yang lebih lelah dari mamah. Tak ada yang bisa mengerti perasaaan "dibuang", orang-orang hanya menunjuknya dan menyuruhnya introspeksi. Membuatnya bertanya-tanya apa kekurangannya dan menyalahkan dirinya sendiri.
Jika saja bisa aku jelaskan pada mamah, bagaimana mamah adalah orang paling berharga bagi kami. Cintanya pada anak tak terkira, kami menjadi prioritasnya, tak masalah soal gengsi. Maka cinta kami padanya begitu besar, sehingga siapapun yang sedikit saja menyakitinya bisa saja bom jatuh di kepalanya.
Tak masalah aku dianggap tak beradab, tak masalah aku dianggap durhaka, tapi tak boleh sedikitpun ada yang menyakitinya.