My photo
Mencari jawaban yang tertindih reruntuhan.

Saturday, December 10

Pengakuan si Pengecut

Bertahun-tahun berprinsip jangan sampai merasa menyesal, hindari segala hal yang membuka pintu-pintu penyesalan. Termasuk berharap, karena dia adalah kunci penyesalan terbesar.

Segala pintu harapan dan keyakinan aku tutup rapat. Aku simpan di tempat yang jauh. Aku anggap ini adalah pintu terakhir yang belum pasti aku masuki.

Awalnya terasa membahagiakan, karena segala kebaikan menjadi sebuah kembang api yang megah dibalik segala perkiraan-perkiraan buruk. Pada setiap yang aku rasa akan gagal, akhir yang ternyata berhasil membuatku bahagia luar biasa.

Ini ternyata menjadi sebuah kebiasaan, memperkirakan hal yang paling buruk menjadi keahlian. Aku menjadi mahir.

Pada suatu hubungan; Aku sepertinya akan disakiti, waspada; Hubungan ini akan gagal, waspada.
Pada suatu pekerjaan; Sepertinya hasilnya akan jelek; Sepertinya aku kurang mahir.
Pada sebuah pertemanan; Sepertinya aku bikin mereka malu.

Pemikiran seperti ini muncul di segala aspek. Pemikiran yang sebenarnya belum tentu ada namun aku buat nyata di depan mata. Tumbuh dan membesar. Membuat aku ciut dan takut. Segala hal membuatku gemetar, kakiku lemah ketakutan, tanganku kaku membeku dan tentu jantung yang berdebar. (Ini betulan, banyak terjadi di meja kerja)

Aku baru sadar, ternyata aku ini pengecut. Takut pada penyesalan sampai membiarkan diri menjadi seseorang yang pesimis, membiarkannya tak percaya pada segala kebaikan, membuatnya merasa pantas direndahkan, diinjak dan perlakuan lain yang tak seorangpun pantas mendapatkannya.

Setelah banyak berprasangka buruk, segala kegagalan tidak menjadi kurang menyakiti. Kegagalan tetap menyakitkan, tetap perih, tetap menusuk. Lalu kenapa aku tetap memilih menjadi orang yang seperti ini?

No comments:

Post a Comment