Lampu merah baru saja menyala, hanya
beberapa detik yang lalu. Tak ada seorang pun yang menghampiri dengan tangan
yang meminta, para pengemis itu hanya terduduk di kolong jalan layang. Aku
melihatnya dibalik kaca yang gelap dengan butiran-butiran air hujan. Mungkin
hujan ini menghalangi mereka meminta recehan, maklum, hujan ini cukup deras
dengan ledakan-ledakan petir dan cahaya-cahaya kilat yang menerobos langit nan
gelap.
"Dua hari ini hujannya gede yah, Neng
?" Kata supir taksi di depan ku. "Iya,
Pak" jawab ku sambil
terus memandangi hujan di jendela kanan taksi ini. Supir taksi itu tak berkata
apapun lagi, dia hanya memandangi lampu merah di depan jalan sana. Mungkin
supir taksi itu mengerti bahwa dia tak seharusnya berbicara saat ini, dia tak
mau mengganggu seorang wanita muda yang sedang mengharap ketenangan. Supir
taksi itu tetap diam menunggu lampu hijau menyala. Aku, dibelakangnya, tetap
memandang hujan dari jendela kanan taksi ini.
Lampu hijau menyala, seirama dengan
telefon genggam ku yang berdering, seseorang menghubungiku. "Bara ? Bajingan !" Gerutu ku mengetahui Bara, lelaki yang
tadi ku lihat, menelfon ku. Aku tak menjawab telfonnya, aku kembali memandang
hujan, kini dengan air hangat mengalir keluar dari mataku. Taksi yang aku
tumpangi terus berjalan bersama dengan ratusan kendaraan lainnya. Kini aku
terisak, berharap suara hujan serta petir menutupi suara tangis ku.
Telefon genggam ku kembali berdering, kini
sebuah pesan : "Maafkan aku, ini tak seperti yang kau lihat"
Aku hanya membacanya, "Sebuah alibi para
lelaki", tanggap ku membaca pesan Bara. Aku tak membalasnya, cukup
membacanya. Aku kira, diam dan tak acuh kepadanya memang pantas aku lakukan
setelah perbuatannya kepadaku, setelah kejadian tadi yang ku lihat.
Ini siang hari yang begitu cerah, berbeda
dengan kemarin yang mendung berawan. Aku pergi ke toko bunga di persimpangan
jalan, bukan untuk membeli bunga, tapi untuk bekerja. Ya, aku bekerja di toko
bunga. Menghias bunga, membungkusnya, dan menjualnya. Walau upahnya tak seberapa,
tapi aku menyukainya. Bunga dimana-mana, indah bukan ?
"Siang Bella" Sapa ku pada Bella, kasir toko bunga ini. Tak ada yang
berbeda dengannya. Masih dengan wajah yang dingin, tanpa senyuman walau hari
secerah siang ini. Aku pergi ke belakang toko ini, mengambil beberapa jenis
bunga. Aku menatanya dalam sebuah vas bunga, berharap memberikan rasa
kebahagiaan dan bisa laku terjual.
Seharian penuh aku menata, menghias, dan
menjual beberapa bunga. Sampai akhirnya aku mengingat seorang lelaki, Bara,
lelaki dengan wajah yang tampan yang menjadi kekasihku selama sebulan ini. Tak
ada kabar darinya. "Sesibuk
apakah ?" batin ku
bertanya. Aku mencoba menghubunginya. Menelfonnya, tak ada jawaban. Aku mencoba
mengirimkan pesan, "Selamat
sore, Bara. Kau tak lupa dengan ku, kan ?". Kembali tak ada
jawaban.
Memang, dari seminggu yang lalu Bara
sangat berubah. Tak ada pesan, tak ada sapaan, tak ada kata-kata cinta lagi
darinya. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Aku hanya bisa berharap.
Ini saatnya aku pulang, senja telah
datang, langit pun tak secerah tadi siang. Aku harus pulang. "Kau mau menemaniku membeli
makanan ?" tanya Bella
padaku. "Kau .. mengajak
ku ... makan ?" tanya ku
heran. Bella adalah wanita yang sangat dingin, cuek, dia tak pernah
menganggapku ada. Dan sekarang dia mengajak ku makan ? Aneh.
"Kau tak mau ?"
"Oh, tidak. Aku mau, ko. Aku akan
membereskan barang-barang ku dulu"
"Baiklah. Jangan lama ! Aku tak mau
lumutan"
Bella kembali duduk di bangku kasirnya,
kini dengan headphone yang ada ditelinganya. Mendengarkan lagu adalah salah
satu dari kegiatannya sehari-hari. Aku membereskan barang-barangku. Mengambil
telefon genggam ku, berharap Bara membalas pesan ku. Nihil, tak ada satu pesan
pun yang masuk. "Apa yang
sebenarnya sedang dia lakukan ?" tanyaku
dalam batin, mulai kesal.
Aku dan Bella pergi mencari makan, walau
langit menggelap, aku dan Bella tetap berjalan mencari tempat makan. Di ujung
jalan kami menemukan tempat makan ala Jepang, makanan kesukaan Bara. Bella
mengajak ku masuk, dia memesan makanan, termasuk makanan ku. Kami menunggu di
meja paling pojok dekat jendela. Bella duduk di depan ku, kami saling
berhadapan. Disini aku bisa melihat hampir semua kegiatan para pengunjung di
tempat makan ini.
Di depan ku, persis 2 meja di depan ku,
aku melihat seorang wanita yang sangat cantik. Didepannya duduk seorang
laki-laki tinggi, ini berarti laki-laki itu duduk membelakangiku.
"Rambutnya mengingatkan ku pada Bara" batin ku berbicara melihat
rambut pendek laki-laki itu. Sepertinya, mereka adalah pasangan kekasih. Tangan
kanan lelaki itu tiba-tiba meraih tangan halus sang wanita. Mereka sedang
berkencan.
"Kau melihat apa ?" Bella memulai pembicaraan.
"Hah ? Tidak .. hanya ..."
"Kau baik-baik saja ?"
"Aku ? Iya, aku baik-baik
saja"
Bella hanya tersenyum. Sifat Bella sangat
berbeda, entah kenapa dia tiba-tiba tersenyum kepada ku.
Aku kembali melihat pada pasangan didepan
ku. Wanita dengan rambut terurai panjang itu memasang wajah bahagia, senyum
yang mengembang menghiasi wajah cantiknya. Pantas saja, lelaki yang ada di depannya
kini memegang erat tangannya. Kini bukan hanya tangan kanan nya yang memegang
erat tangan wanita itu, tangan kirinya pun memegang tangan wanita itu. Seperti
tak mau lepas. Diluar, hujan kembali menggelegar seperti kemarin pagi, siang
dan malam.
"Aku selalu menyempatkan makan
ditempat ini setelah pulang kerja. Hampir setiap hari. Jadi aku tahu apapun
yang telah terjadi di tempat makan ini"
"Dan kau baru mengajak ku makan
sekarang ? Mengapa ?"
"Aku mencari waktu yang tepat"
"Maksud mu ?"
"Aku harus mencari waktu yang tepat,
kapan kau telah siap"
"Aku ? Siap ? Untuk apa ?"
"Kau lihat sepasang kekasih di depan
sana ? Lihat ada apa di pergelangan tangan lelaki itu"
Aku melihat kembali lelaki di depan sana,
dia masih memegang tangan wanita di depannya. Aku memperhatikan pergelangan
tangannya, yang kanan, dan yang kiri. Sebuah jam tangan berwarna hitam dengan
sedikit bagian berwarna kuning dipakai di pergelangan tangan kirinya. Seperti
jam tangan Bara yang aku belikan seminggu kemarin.
"Hanya sebuah jam tangan"
"Kau tak ingat jam tangan itu ?"
"Tunggu, kau mengira itu Bara ?"
"Itu memang Bara, kekasih mu yang
sekaligus menjadi kekasih wanita berambut panjang itu"
"Bara tak mungkin seperti itu !"
Entah apa yang membuat Bella berkata
seperti itu, tapi aku yakin Bara sedang bekerja di kantornya. Dia tak mungkin
berselingkuh dengan wanita itu. Aku mulai resah. "Sebentar lagi lelaki itu akan
keluar dari kursinya, dia akan berpindah tempat duduk di samping wanita itu.
Kau akan tahu persis siapa dia" Jelas
Bella tersenyum nakal. Dia seperti puas menakut-nakutiku.
Aku hanya diam, memperhatikan lelaki itu.
Benar saja, lelaki itu melepas genggaman tangannya, dia keluar dari kursinya
dan duduk persis di samping wanita itu. Aku memandang wajah lelaki itu.
Bara.
Lelaki itu Bara.
Kekasih ku, yang kini menjadi kekasih
wanita itu.
Aku terus memandangi wajahnya, menatapnya
hingga aku menangis, sedikit menangis.
Lelaki itu, Bara, menyadari
tatapanku.
Dia melihatku.
Kami saling memandang.
Aku tetap menangis.
Aku mengeluarkan uang Rp. 100. 000,- dan
aku simpan di meja, aku langsung berlari meninggalkan Bella dan meninggalkan
Bara dengan wanitanya. Aku tak mau melihat lelaki bajingan seperti Bara. Aku
harus pulang, walau hanya ditemani hujan.
Telefon genggam ku kembali berdering,
kembali sebuah pesan dari Bara : "Kau
tak mau memaafkan aku ?" Aku
kembali tak mengacuhkan pesannya. Aku hanya ingin pulang dan menangis
sekencang-kencangnya.
Terkhianati.
Kecewa.
Siapapun akan menangis.
Setitik harapan,
8 April 2012
Teruntuk : dia
yang menjadi Bara
Keren! :)
ReplyDeletejgan sdih y khidupan memang bgi2, qm ambil positifnya ja. .
ReplyDelete