My photo
Mencari jawaban yang tertindih reruntuhan.

Sunday, April 8

Aku harus pulang, walau hanya ditemani hujan


Lampu merah baru saja menyala, hanya beberapa detik yang lalu. Tak ada seorang pun yang menghampiri dengan tangan yang meminta, para pengemis itu hanya terduduk di kolong jalan layang. Aku melihatnya dibalik kaca yang gelap dengan butiran-butiran air hujan. Mungkin hujan ini menghalangi mereka meminta recehan, maklum, hujan ini cukup deras dengan ledakan-ledakan petir dan cahaya-cahaya kilat yang menerobos langit nan gelap.

"Dua hari ini hujannya gede yah, Neng ?" Kata supir taksi di depan ku. "Iya, Pak" jawab ku sambil terus memandangi hujan di jendela kanan taksi ini. Supir taksi itu tak berkata apapun lagi, dia hanya memandangi lampu merah di depan jalan sana. Mungkin supir taksi itu mengerti bahwa dia tak seharusnya berbicara saat ini, dia tak mau mengganggu seorang wanita muda yang sedang mengharap ketenangan. Supir taksi itu tetap diam menunggu lampu hijau menyala. Aku, dibelakangnya, tetap memandang hujan dari jendela kanan taksi ini.

Lampu hijau menyala, seirama dengan telefon genggam ku yang berdering, seseorang menghubungiku. "Bara ? Bajingan !" Gerutu ku mengetahui Bara, lelaki yang tadi ku lihat, menelfon ku. Aku tak menjawab telfonnya, aku kembali memandang hujan, kini dengan air hangat mengalir keluar dari mataku. Taksi yang aku tumpangi terus berjalan bersama dengan ratusan kendaraan lainnya. Kini aku terisak, berharap suara hujan serta petir menutupi suara tangis ku.

Telefon genggam ku kembali berdering, kini sebuah pesan : "Maafkan aku, ini tak seperti yang kau lihat"

Aku hanya membacanya, "Sebuah alibi para lelaki", tanggap ku membaca pesan Bara. Aku tak membalasnya, cukup membacanya. Aku kira, diam dan tak acuh kepadanya memang pantas aku lakukan setelah perbuatannya kepadaku, setelah kejadian tadi yang ku lihat.

Ini siang hari yang begitu cerah, berbeda dengan kemarin yang mendung berawan. Aku pergi ke toko bunga di persimpangan jalan, bukan untuk membeli bunga, tapi untuk bekerja. Ya, aku bekerja di toko bunga. Menghias bunga, membungkusnya, dan menjualnya. Walau upahnya tak seberapa, tapi aku menyukainya. Bunga dimana-mana, indah bukan ?

"Siang Bella" Sapa ku pada Bella, kasir toko bunga ini. Tak ada yang berbeda dengannya. Masih dengan wajah yang dingin, tanpa senyuman walau hari secerah siang ini. Aku pergi ke belakang toko ini, mengambil beberapa jenis bunga. Aku menatanya dalam sebuah vas bunga, berharap memberikan rasa kebahagiaan dan bisa laku terjual. 

Seharian penuh aku menata, menghias, dan menjual beberapa bunga. Sampai akhirnya aku mengingat seorang lelaki, Bara, lelaki dengan wajah yang tampan yang menjadi kekasihku selama sebulan ini. Tak ada kabar darinya. "Sesibuk apakah ?" batin ku bertanya. Aku mencoba menghubunginya. Menelfonnya, tak ada jawaban. Aku mencoba mengirimkan pesan, "Selamat sore, Bara. Kau tak lupa dengan ku, kan ?". Kembali tak ada jawaban. 

Memang, dari seminggu yang lalu Bara sangat berubah. Tak ada pesan, tak ada sapaan, tak ada kata-kata cinta lagi darinya. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Aku hanya bisa berharap.

Ini saatnya aku pulang, senja telah datang, langit pun tak secerah tadi siang. Aku harus pulang. "Kau mau menemaniku membeli makanan ?" tanya Bella padaku. "Kau .. mengajak ku ... makan ?" tanya ku heran. Bella adalah wanita yang sangat dingin, cuek, dia tak pernah menganggapku ada. Dan sekarang dia mengajak ku makan ? Aneh.
  
"Kau tak mau ?"
"Oh, tidak. Aku mau, ko. Aku akan membereskan barang-barang ku dulu"
"Baiklah. Jangan lama ! Aku tak mau lumutan"

Bella kembali duduk di bangku kasirnya, kini dengan headphone yang ada ditelinganya. Mendengarkan lagu adalah salah satu dari kegiatannya sehari-hari. Aku membereskan barang-barangku. Mengambil telefon genggam ku, berharap Bara membalas pesan ku. Nihil, tak ada satu pesan pun yang masuk. "Apa yang sebenarnya sedang dia lakukan ?" tanyaku dalam batin, mulai kesal.

Aku dan Bella pergi mencari makan, walau langit menggelap, aku dan Bella tetap berjalan mencari tempat makan. Di ujung jalan kami menemukan tempat makan ala Jepang, makanan kesukaan Bara. Bella mengajak ku masuk, dia memesan makanan, termasuk makanan ku. Kami menunggu di meja paling pojok dekat jendela. Bella duduk di depan ku, kami saling berhadapan. Disini aku bisa melihat hampir semua kegiatan para pengunjung di tempat makan ini.

Di depan ku, persis 2 meja di depan ku, aku melihat seorang wanita yang sangat cantik. Didepannya duduk seorang laki-laki tinggi, ini berarti laki-laki itu duduk membelakangiku. "Rambutnya mengingatkan ku pada Bara" batin ku berbicara melihat rambut pendek laki-laki itu. Sepertinya, mereka adalah pasangan kekasih. Tangan kanan lelaki itu tiba-tiba meraih tangan halus sang wanita. Mereka sedang berkencan.

"Kau melihat apa ?" Bella memulai pembicaraan.
"Hah ? Tidak .. hanya ..."
"Kau baik-baik saja ?"
"Aku ? Iya, aku baik-baik saja" 

Bella hanya tersenyum. Sifat Bella sangat berbeda, entah kenapa dia tiba-tiba tersenyum kepada ku.

Aku kembali melihat pada pasangan didepan ku. Wanita dengan rambut terurai panjang itu memasang wajah bahagia, senyum yang mengembang menghiasi wajah cantiknya. Pantas saja, lelaki yang ada di depannya kini memegang erat tangannya. Kini bukan hanya tangan kanan nya yang memegang erat tangan wanita itu, tangan kirinya pun memegang tangan wanita itu. Seperti tak mau lepas. Diluar, hujan kembali menggelegar seperti kemarin pagi, siang dan malam.

"Aku selalu menyempatkan makan ditempat ini setelah pulang kerja. Hampir setiap hari. Jadi aku tahu apapun yang telah terjadi di tempat makan ini"
"Dan kau baru mengajak ku makan sekarang ? Mengapa ?"
"Aku mencari waktu yang tepat"
"Maksud mu ?"
"Aku harus mencari waktu yang tepat, kapan kau telah siap"
"Aku ? Siap ? Untuk apa ?"
"Kau lihat sepasang kekasih di depan sana ? Lihat ada apa di pergelangan tangan lelaki itu"

Aku melihat kembali lelaki di depan sana, dia masih memegang tangan wanita di depannya. Aku memperhatikan pergelangan tangannya, yang kanan, dan yang kiri. Sebuah jam tangan berwarna hitam dengan sedikit bagian berwarna kuning dipakai di pergelangan tangan kirinya. Seperti jam tangan Bara yang aku belikan seminggu kemarin.

"Hanya sebuah jam tangan"
"Kau tak ingat jam tangan itu ?"
"Tunggu, kau mengira itu Bara ?"
"Itu memang Bara, kekasih mu yang sekaligus menjadi kekasih wanita berambut panjang itu"
"Bara tak mungkin seperti itu !"

Entah apa yang membuat Bella berkata seperti itu, tapi aku yakin Bara sedang bekerja di kantornya. Dia tak mungkin berselingkuh dengan wanita itu. Aku mulai resah. "Sebentar lagi lelaki itu akan keluar dari kursinya, dia akan berpindah tempat duduk di samping wanita itu. Kau akan tahu persis siapa dia" Jelas Bella tersenyum nakal. Dia seperti puas menakut-nakutiku.


Aku hanya diam, memperhatikan lelaki itu. Benar saja, lelaki itu melepas genggaman tangannya, dia keluar dari kursinya dan duduk persis di samping wanita itu. Aku memandang wajah lelaki itu. Bara. 

Lelaki itu Bara. 
Kekasih ku, yang kini menjadi kekasih wanita itu. 
Aku terus memandangi wajahnya, menatapnya hingga aku menangis, sedikit menangis. 
Lelaki itu, Bara, menyadari tatapanku. 
Dia melihatku. 
Kami saling memandang.
Aku tetap menangis.

Aku mengeluarkan uang Rp. 100. 000,- dan aku simpan di meja, aku langsung berlari meninggalkan Bella dan meninggalkan Bara dengan wanitanya. Aku tak mau melihat lelaki bajingan seperti Bara. Aku harus pulang, walau hanya ditemani hujan.

Telefon genggam ku kembali berdering, kembali sebuah pesan dari Bara : "Kau tak mau memaafkan aku ?" Aku kembali tak mengacuhkan pesannya. Aku hanya ingin pulang dan menangis sekencang-kencangnya.

Terkhianati.
Kecewa.
Siapapun akan menangis.

Setitik harapan, 8 April 2012
Teruntuk : dia yang menjadi Bara

2 comments: