Dua cangkir teh yang setengah penuh, dua kursi yang saling berhadapan di bawah meja makan. 43 tahun, katanya, tidak sebentar. Tapi bagiku, 43 tahun terlalu sebentar untuk dapat tidur bersama di satu ranjang. Perlu tambahan waktu untuk ku agar tetap dapat duduk bersama di belakang jendela, tepat dikala senja mulai.
Terlalu menipu jika ku mengaku tak rindu. Dua cangkir teh yang kental tertuang di cangkir manis yang mengkilap. Satu cangkir teh yang kecil kusajikan untuk ku sendiri, satu cangkir yang lainnya kusajikan untuk bayangan suamiku, Basuki. Ku taruh cangkir kesayangannya di depan kursi meja makan yang selalu ia duduki.
Ketika langit mulai menjingga, kubiarkan cahayanya menembus jendela disampingku. Membuat cangkir teh yang manis semakin mengkilap. Terlihat jelas bagaimana Basuki, suamiku, duduk di depan ku dengan mengangkat satu kakinya lalu bercerita tentang teman-temannya di kantor. Tampak jelas bagaimana ia meminum teh kentalnya sembari memandang upacara penyambut malam, senja.
Bagaimana bisa aku tak menangis, jika aku tak bisa menggenggam tangan seorang lelaki yang telah menjadi imam ku. Kenapa aku harus berdansa ketika pasangan dansa ku telah hilang. Demi senja, aku ikhlas jika ia tak bisa lagi tidur bersama ku. Tapi biarkan aku merindu, membayangkan dan mendoakan Basuki yang telah ku nikahi 43 tahun yang lalu. Jadi biarkan aku menangis di kala senja telah datang ini.
Dua cangkir manis tadi tak lagi mengkilap, cahaya yang dipantulkannya telah pudar. Senja telah pergi tertelan malam. Di saat inilah ia selalu berkata, "Apa yang indah selalu terpampang sementara, sama seperti senja yang hanya sebentar memamerkan keindahannya. Selamat malam, istri ku". Ah, Basuki. Selamat malam juga, suami ku. Senja dan dirimu adalah satu hal yang sama, hanya terpampang sementara.
Terinpirasi oleh seorang wanita berkerudung
yang menangis di depan para muridnya
karena bersedih atas kerinduan kepada suami
Ibu Tati
No comments:
Post a Comment