My photo
Mencari jawaban yang tertindih reruntuhan.

Sunday, October 6

Pidato Anak Jeddah

Lautan manusia terhampar di depan ku, berteriak, memaki, kesal, bergumel, bersorak hingga terdengar seperti suara radio yang memutar kaset berpita rusak. Matahari Jum’at ini begitu panas, membuat air di dalam tanah menguap, menimbulkan debu-debu yang bertebaran di pelataran lapang ini. Pidato harus ku sampaikan, yang entah bagaimana akan membuat para manusia di depan ku ini berhenti menimbulkan suara yang mengilukan telinga. Mungkin, mereka ingin tahu pesan terakhir ku.

Entah bagaimana kekuatan positif seperti cinta dapat mendorong ku ke tepi jurang neraka.  Seperti pisau yang tajam, cinta itu merobek kain iman ku. Membuat celah untuk pintu secuil keinginan. Ternyata benar kata para pemangku iman, nafsu adalah musuh yang paling susah untuk dilawan.

Aku mencintai wanita yang hallal untuk lelaki lain, yang menjadi pelepas nafsu lelaki lain. Beribu-ribu malam aku beristigfar kepada Allah atas kekhilafan ku yang mencintai istri lelaki lain, entah berapa kali aku menangis agar dapat mengikhlaskan wanita yang sebenarnya bukan menjadi hak ku untuk mengikhlaskannya. Tapi gemuruh rindu selalu ramai dan pukulan cemburu selalu membanting hati.

“Az-zani ! Az-zani !”, kutukan itu terus diteriakan, membangunkan rasa penyesalanku. Sungguh begitu bodohnya aku telah berhenti beristigfar sehingga setan memantrai ku. Jeddah, maafkan anak yang tumbuh di tanah mu ini. Jeddah, anak mu telah meniduri wanita yang hallal untuk lelaki lain. Aku begitu lupa bahwa menyentuh wanita adalah dosa, apalagi wanita milik lelaki lain.

Pembacaan pidato ku dimulai, imam masjid Qissas mempersilahkan, lautan manusia hening. “Assalammualaikum”, permulaan ku, “Jum’at ini akan menjadi saksi. Dan demi Jum’at ini aku bersungguh-sungguh bertaubat kepada Allah. Kepada Jeddah, dan seluruh anak Jeddah, aku meminta maaf membuat malu tanah ini di hadapan para malaikat. Astagfirullahaladzim ! Jeddah, dan seluruh anak Jeddah, aku siap di-qissas. Wassalamualaikum”. Ku akhiri dengan guyuran air mata.

“Allahuakbar ! Allahuakbar !”, telingaku kembali berdengung, mereka yang asalnya hening kembali berteriak. Imam masjid Qissas menutup mata ku, telingaku terus berdengung, tangan ku bergetar, kaki ku lemas, mulut ku kembali berdzikir.

Entah harus bagaimana menerangkannya, tapi rasanya seperti terbakar, seperti terlindas hingga semua tulang rasanya remuk atau seperti tertimpa bebatuan. Aku telah mati dihadapan para anak-anak Jeddah dengan rasa penyesalanku yang terus hidup. Semoga pancungan ku dapat menghapus dosa besar ini dan menarik ku dari jurang neraka. Semoga kucuran darah ku dapat membantu ku masuk ke pintu Jannah untuk menemui bidadari syurga ku.

Air mengguyur lantai dan menghapus jejak-jejak darah. Lautan manusia diam dalam doa, matahari Jum’at pun meredupkan sinarnya, dan Jeddah ikhlas kehilangan satu anaknya.

3 comments: