Lautan manusia terhampar di depan ku, berteriak, memaki,
kesal, bergumel, bersorak hingga terdengar seperti suara radio yang memutar
kaset berpita rusak. Matahari Jum’at ini begitu panas, membuat air di dalam
tanah menguap, menimbulkan debu-debu yang bertebaran di pelataran lapang ini. Pidato
harus ku sampaikan, yang entah bagaimana akan membuat para manusia di depan ku
ini berhenti menimbulkan suara yang mengilukan telinga. Mungkin, mereka ingin
tahu pesan terakhir ku.
Entah bagaimana kekuatan positif seperti cinta dapat mendorong
ku ke tepi jurang neraka. Seperti pisau
yang tajam, cinta itu merobek kain iman ku. Membuat celah untuk pintu secuil keinginan.
Ternyata benar kata para pemangku iman, nafsu adalah musuh yang paling susah
untuk dilawan.
Aku mencintai wanita yang hallal untuk lelaki lain, yang
menjadi pelepas nafsu lelaki lain. Beribu-ribu malam aku beristigfar kepada
Allah atas kekhilafan ku yang mencintai istri lelaki lain, entah berapa kali
aku menangis agar dapat mengikhlaskan wanita yang sebenarnya bukan menjadi hak
ku untuk mengikhlaskannya. Tapi gemuruh rindu selalu ramai dan pukulan cemburu
selalu membanting hati.
“Az-zani ! Az-zani !”, kutukan itu terus diteriakan,
membangunkan rasa penyesalanku. Sungguh begitu bodohnya aku telah berhenti
beristigfar sehingga setan memantrai ku. Jeddah, maafkan anak yang tumbuh di
tanah mu ini. Jeddah, anak mu telah meniduri wanita yang hallal untuk lelaki
lain. Aku begitu lupa bahwa menyentuh wanita adalah dosa, apalagi wanita milik
lelaki lain.
Pembacaan pidato ku dimulai, imam masjid Qissas
mempersilahkan, lautan manusia hening. “Assalammualaikum”, permulaan ku,
“Jum’at ini akan menjadi saksi. Dan demi Jum’at ini aku bersungguh-sungguh
bertaubat kepada Allah. Kepada Jeddah, dan seluruh anak Jeddah, aku meminta maaf
membuat malu tanah ini di hadapan para malaikat. Astagfirullahaladzim ! Jeddah,
dan seluruh anak Jeddah, aku siap di-qissas. Wassalamualaikum”. Ku akhiri dengan guyuran air mata.
“Allahuakbar ! Allahuakbar !”, telingaku kembali berdengung,
mereka yang asalnya hening kembali berteriak. Imam masjid Qissas menutup mata
ku, telingaku terus berdengung, tangan ku bergetar, kaki ku lemas, mulut ku
kembali berdzikir.
Entah harus bagaimana menerangkannya, tapi rasanya seperti
terbakar, seperti terlindas hingga semua tulang rasanya remuk atau seperti
tertimpa bebatuan. Aku telah mati dihadapan para anak-anak Jeddah dengan rasa
penyesalanku yang terus hidup. Semoga pancungan ku dapat menghapus dosa besar
ini dan menarik ku dari jurang neraka. Semoga kucuran darah ku dapat membantu ku masuk ke pintu Jannah untuk menemui bidadari syurga ku.
masya alloh kata2 dan untaian nya sungguh membuat merinding
ReplyDeletehanya untuk mengingatkan :)
Deleteserem juga, nafsu..
ReplyDelete