My photo
Mencari jawaban yang tertindih reruntuhan.

Saturday, September 2

Rama dan Shinta Milenium

Melihat seseorang pergi adalah hal yang mampu membuat kita jatuh ke dalam lubang kesedihan. Pergi berarti meninggalkan dan ditinggalkan. Pergi pula berarti berpisah. Maka ketika langkahnya semakin menjauh, semakin aku tenggelam di lubang kesedihan. Jika pergi dengan pamit akan sebegitu sedihnya, maka bagaimana jika kepergiaan itu terjadi karena terpaksa ? Bagaimana jika berpisah bukan karena keinginan kita ?

Sungguh malang Rama dan Shinta yang harus terpisah karena keegoisan orang lain. Bukan ingin Rama. Bukan pula ingin Shinta. Mereka hanya terpaksa berpisah, sama seperti aku dan kamu. Bukan inginku untuk melihat kamu menjauh dari sini, dan bisa kupastikan bahwa bukan inginmu untuk terus melangkah jauh.

Kita, Rama dan Shinta Milenium.

Aku sekarang mengerti bagaimana perasaan Shinta yang harus terpisah dari Rama. Bisa aku mengerti bagaimana kesedihan seorang Shinta yang seakan membanjiri dirinya. Perasaan-perasaan sedih itu kini juga membanjiri diriku, kian lama sedih itu menjadi bandang yang terus menyeretku.

Ingin aku berbincang dengan Shinta, menanyakan satu dan lain hal yang masih sampai saat ini tak memiliki jawaban. Bagaimana Shinta bisa dengan sabar menerima kesedihan itu ? Pun bagaimana dia bisa tegar terpisah dari yang ia yakini sebagai cintanya; Rama ? Atau, apakah Shinta tak pula memiliki jawaban itu ?

Shinta, memang sungguh jahat si Rahwana itu. Teramat tega dia sampai harus mengikat kita dengan tali keegoisannya. Teramat jahat dia, mengurung kita dalam kandang yang dia sebut cinta. Teramat licik dia, menarik genggaman erat tangan kita dari Sang Rama. Ramaku dan Ramamu.

Hey, Rahwana ! Keturunan mu kini datang di abad 21 ! Dia teramat mirip denganmu, tiada beda ! Cintanya tertukar dengan keegoisan. Cintanya tersesat dan tergantikan. Cintanya hilang tak berbayang.

Namun, Ramaku juga tak mau kalah dari Rama yang melegenda itu. Kamu, seperti halnya Rama milik Shinta, berusaha mati-matian agar bisa merebutku kembali. Mana rela jika seorang Rama harus kalah dari Rahwana. Mana rela jika harus terpisah karena tangan seorang Rahwana. Ramaku melepas tali yang mengikat, membebaskan aku dari kurungan keegoisan sang Rahwana.

Layaknya kisah Rama dan Shinta, kita kembali lagi bersama. Dan seperti rasa yang diceritakan Rama dan Shinta, ternyata kehilangan membuat kita tahu seberapa berharganya kamu untukku dan aku untukmu. Maka, berapa pintupun yang terbuka, jangan pernah sekali-kali kamu pergi, Ramaku!

Kepada Rahwana-Rahwana yang lainnya, berenanglah kepermukaan, karena kamu telah tenggelam begitu dalam di laut keegoisan.

Sunday, July 30

Untuk Rumah No. 31

Menonton televisi bersama setelah shalat isya sampai waktu tidur tiba menjadi hal yang paling aku rindukan saat ini. Menyaksikan acara yang membuat kami tertawa atau bahkan menangis menjadi hal yang ingin aku ulangi. Sehari saja, tidak apa-apa.

Minggu pagi, menyantap pisang goreng buatan bapak dan secangkir teh manis hangat menjadi hal yang sulit ditemukan sekarang. Buatan bapak selalu enak, pisang goreng itu tadi atau bahkan hanya sekedar tahu dan tempe goreng, rasanya enak! Bahkan mamah harus mengaku kalah kalo soal rasa pisang, tahu dan tempe goreng. Kalah telak.

Meskipun selalu kalah dan menangis, aku merindukan bagaimana jahilnya kakak-kakak ku. Bagaimana mereka begitu seenaknya dengan adik bungsunya ini, melempar bantal, mengunci ku di dapur, meledek ku, mengguyur ku dengan air dingin, mencubit ku dan hal lainnya yang sekarang malah ingin aku dapatkan lagi.

Sekarang, rumah ini tidak sehangat dulu. Kata mamah, kalo magrib rumah ini terasa sangat sepi. Makanya setiap mau magrib mamah suka whatsapp, sms atau telfon dan bertanya kapan pulang. Kasihan, mamah sekarang sering sendiri di rumah.

Ingin rasanya kembali melakukan banyak kenangan itu di rumah ini, tapi ternyata waktu memakan semua kenangan itu. Tidak ada menonton televisi bersama lagi setelah isya, kami tetap melakukan kegiatan masing-masing di kamar kami sendiri. Minggu pagi tidak ada pisang goreng dan teman-temannya, hanya ada teh yang dinikmati di kamar masing-masing.

Tidak kah kamu merasa kedinginan, wahai rumahku ?
Dari, yang 10 tahun sudah tidur di kamar bercat pink.

Tuesday, February 28

Lagi-lagi, Sedih.

Terkadang kesedihan memang harus dinikmati. Kamu harus menangisinya, berteriak sekencang-kencangnya lalu menangis lagi. Tak usah ditahan-tahan hingga sengaja membuat bendungan untuk air matamu sendiri. Jika kesedihan mu sedalam lautan, maka menangis sejadi-jadinya akan membuat kesedihan itu tenggelam lebih dalam dan akhirnya karam.

Aku sempat semalaman penuh tak terpejam hanya untuk meratapi kesedihan ku sendiri. Namun, hidup tidak melulu soal sedih, duka, sendu dan yang seperti itu lainnya. Terkadang yang sederhana pun mampu membuat kita lupa akan kesedihan yang begitu dalam. Tidak apa-apa jika harus bermuka dua dimana dihadapan orang bahagia mu seakan tak terhingga namun sesungguhnya ada kesedihan yang kamu sembunyikan.

Mungkin memang sudah seharusnya orang lain tidak mengetahui kesedihan kita masing-masing. Simpan saja sendiri karena Tuhan pun yakin kita yang mempunyai kesedihan ini mampu melewatinya. Ingat, Tuhan sangat amat yakin hingga kesedihan ini Ia berikan pada kita.