Melihat seseorang pergi adalah hal yang mampu membuat kita jatuh ke dalam lubang kesedihan. Pergi berarti meninggalkan dan ditinggalkan. Pergi pula berarti berpisah. Maka ketika langkahnya semakin menjauh, semakin aku tenggelam di lubang kesedihan. Jika pergi dengan pamit akan sebegitu sedihnya, maka bagaimana jika kepergiaan itu terjadi karena terpaksa ? Bagaimana jika berpisah bukan karena keinginan kita ?
Sungguh malang Rama dan Shinta yang harus terpisah karena keegoisan orang lain. Bukan ingin Rama. Bukan pula ingin Shinta. Mereka hanya terpaksa berpisah, sama seperti aku dan kamu. Bukan inginku untuk melihat kamu menjauh dari sini, dan bisa kupastikan bahwa bukan inginmu untuk terus melangkah jauh.
Kita, Rama dan Shinta Milenium.
Aku sekarang mengerti bagaimana perasaan Shinta yang harus terpisah dari Rama. Bisa aku mengerti bagaimana kesedihan seorang Shinta yang seakan membanjiri dirinya. Perasaan-perasaan sedih itu kini juga membanjiri diriku, kian lama sedih itu menjadi bandang yang terus menyeretku.
Ingin aku berbincang dengan Shinta, menanyakan satu dan lain hal yang masih sampai saat ini tak memiliki jawaban. Bagaimana Shinta bisa dengan sabar menerima kesedihan itu ? Pun bagaimana dia bisa tegar terpisah dari yang ia yakini sebagai cintanya; Rama ? Atau, apakah Shinta tak pula memiliki jawaban itu ?
Shinta, memang sungguh jahat si Rahwana itu. Teramat tega dia sampai harus mengikat kita dengan tali keegoisannya. Teramat jahat dia, mengurung kita dalam kandang yang dia sebut cinta. Teramat licik dia, menarik genggaman erat tangan kita dari Sang Rama. Ramaku dan Ramamu.
Hey, Rahwana ! Keturunan mu kini datang di abad 21 ! Dia teramat mirip denganmu, tiada beda ! Cintanya tertukar dengan keegoisan. Cintanya tersesat dan tergantikan. Cintanya hilang tak berbayang.
Namun, Ramaku juga tak mau kalah dari Rama yang melegenda itu. Kamu, seperti halnya Rama milik Shinta, berusaha mati-matian agar bisa merebutku kembali. Mana rela jika seorang Rama harus kalah dari Rahwana. Mana rela jika harus terpisah karena tangan seorang Rahwana. Ramaku melepas tali yang mengikat, membebaskan aku dari kurungan keegoisan sang Rahwana.
Layaknya kisah Rama dan Shinta, kita kembali lagi bersama. Dan seperti rasa yang diceritakan Rama dan Shinta, ternyata kehilangan membuat kita tahu seberapa berharganya kamu untukku dan aku untukmu. Maka, berapa pintupun yang terbuka, jangan pernah sekali-kali kamu pergi, Ramaku!
Kepada Rahwana-Rahwana yang lainnya, berenanglah kepermukaan, karena kamu telah tenggelam begitu dalam di laut keegoisan.
Ingin aku berbincang dengan Shinta, menanyakan satu dan lain hal yang masih sampai saat ini tak memiliki jawaban. Bagaimana Shinta bisa dengan sabar menerima kesedihan itu ? Pun bagaimana dia bisa tegar terpisah dari yang ia yakini sebagai cintanya; Rama ? Atau, apakah Shinta tak pula memiliki jawaban itu ?
Shinta, memang sungguh jahat si Rahwana itu. Teramat tega dia sampai harus mengikat kita dengan tali keegoisannya. Teramat jahat dia, mengurung kita dalam kandang yang dia sebut cinta. Teramat licik dia, menarik genggaman erat tangan kita dari Sang Rama. Ramaku dan Ramamu.
Hey, Rahwana ! Keturunan mu kini datang di abad 21 ! Dia teramat mirip denganmu, tiada beda ! Cintanya tertukar dengan keegoisan. Cintanya tersesat dan tergantikan. Cintanya hilang tak berbayang.
Namun, Ramaku juga tak mau kalah dari Rama yang melegenda itu. Kamu, seperti halnya Rama milik Shinta, berusaha mati-matian agar bisa merebutku kembali. Mana rela jika seorang Rama harus kalah dari Rahwana. Mana rela jika harus terpisah karena tangan seorang Rahwana. Ramaku melepas tali yang mengikat, membebaskan aku dari kurungan keegoisan sang Rahwana.
Layaknya kisah Rama dan Shinta, kita kembali lagi bersama. Dan seperti rasa yang diceritakan Rama dan Shinta, ternyata kehilangan membuat kita tahu seberapa berharganya kamu untukku dan aku untukmu. Maka, berapa pintupun yang terbuka, jangan pernah sekali-kali kamu pergi, Ramaku!
Kepada Rahwana-Rahwana yang lainnya, berenanglah kepermukaan, karena kamu telah tenggelam begitu dalam di laut keegoisan.
"pernah gak kepikiran kita teh apa? kita teralih" wkkwkwkw
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete"kita melayang terlalu lama" :D
ReplyDelete