My photo
Mencari jawaban yang tertindih reruntuhan.

Tuesday, November 23

Mamah dan ikhtiarnya


Mamah, dalam ikhtiarnya untuk sehat.

Setiap hari aku selalu menduga-duga, bertanya dengan penuh ketakutan, "apakah hari ini?".

Setiap hari pula aku penuh keyakinan bahwa sehabis ini hidup ku dan mamah akan berbahagia.

Mamah dalam ikhtiarnya, aku dalam kecemasan dan hampir menyerah.

Monday, September 27

Sehidup Semati?

Pasanganmu kini ada pada masa dimana ia sedang cantik-cantiknya, sedang tampan-tampannya. Rambutnya pangkasan mode teranyar, kadang referensinya artis-artis korea. Saat ini mereka wangi vanilla, kadang bubble gum, pokonya tercium manis dan segar. Pakaian mereka modis mengikuti zaman hasil checkout keranjang shopee.

Ada masanya, saat umur kalian dipanjangkan, diberi kesempatan untuk bersama jauh lebih lama, dia yang sempurna di mata kini berubah jauh lebih banyak. Rambutnya memutih, rontok di bantal dan baju yang ia kenakan. Dibiarkan memanjang dan terurai tak beraturan. Kulitnya kerut menurunkan sudut-sudut wajahnya. Giginya pun pensiun, copot satu-persatu sampai bicaranya tak lagi jelas.

Saat ia yang dikasihi sudah tak bisa mengurus dirinya sendiri, hanya bisa meminta pertolongan. Apakah kamu siap menjadi penolong pertamanya? Apakah kamu siap menuntunnya ke kamar mandi, menunggu mereka didalam sana membuang kotoran-kotoran dari perutnya? Apakah kamu siap setelah pulang bekerja harus mengurusnya, menyuapinya, menunggunya sampai ia terlelap dan tak ada lagi me time. Siap?

Sehidup semati, katanya.

Sunday, May 23

Sabar berarti banyak

Aku sudah paham, juga sudah membuktikannya sendiri, bahwa apapun yang aku inginkan pasti Allah kasih. Baik itu sesuai dengan yang aku mau ataupun dengan yang jauh lebih baik.

Kalo gitu, tugasku sekarang adalah meminta, sambil berikhtiar.

Aku yakin, apa yang aku mau tidak lebih berat dari sebuah debu bagi Allah. Bukankah jika memang baik untuk ku, dunia yang besar ini juga akan Allah berikan. Maka atas setiap ketidak mampuanku, Allah menahan segala hal yang sebenarnya akan membuatku berat.

Artinya, sekarang ini sesungguhnya adalah kondisi yang paling mudah untukku. Hanya saja aku sering lupa, bahwa aku ini kuat. Sehingga, hal yang sebenarnya mudah, enteng, kecil malah jadi hal yang terasa berat juga memberatkan. Dan artinya, sesungguhnya setelah ini akan Allah segera tunjukkan bagaimana rencana yang baik untuk ku.

Disinilah sabar berarti banyak. Sabar berarti yakin, sabar berarti kuat, sabar berarti paham dan sabar berarti kemenangan.

Jadi, bersabar, ya!

Sunday, May 16

Perempuan Nyemplung ke Proyek

"Hari kamis ini kita ke lapangan ya, Jam. Kita bakal ke 4 lokasi  buat ngukur, sekalian cek kos Bogor", atasan ku berkata sebelum jam pulang.

Senang, karena setelah sejak Desember design-nya selesai, akhirnya bisa liat langsung proyek ku yang sebelumnya belum aku kunjungi akibat deadline yang terus-terusan.

Eh tunggu, 4 lokasi? Artinya ke lokasi lain yang juga dalam pembangunan tambah juga harus ngukur. Tiba-tiba kepikiran, "Aku kan sekarang pakai rok, merepotkan ga ya? Harus ngukur dan cek proyek lagi".

Kamis pun tiba, aku ga punya pilihan selain memaksakan dan percaya Allah pasti memudahkan aku dan orang disekelilingku. Karena ketakutanku adalah jika rok ku menghambat pekerjaan dan orang lain direpotkan karenanya.

Ini pekerjaan lapangan; ukur, tarik benang, cocokan dengan gambar. Stigmanya tentu ini pekerjaan laki-laki. Perempuan pakai rok? Repot.

Ternyata, 5 lokasi yang terkunjungi, semuanya berjalan biasa saja. Hanya tukang-tukang yang melihatku kebingungan mungkin ditambah rasa aneh.

Cek proyek; lancar. Ngukur; lancar, mudah dan tepat. Alhamdulillah, biasa saja. Hanya rok ku kotor terkena debu proyek, tapi saat ku liat teman kerja laki-lakiku, celananya pun kotor. Maka artinya, sama saja.

Baru aku sadar, ternyata aku hanya termakan stigma orang.



Saturday, May 15

Umur 25 Berharap Tabungan 100 Juta

Idealnya, usia 25 tahun sudah punya tabungan 100 juta.

Kalo kamu cuman bengong, mari kita bahas.

Beberapa orang dari kita, si golongan 25 keatas, akan bengong ketika tahu ternyata hidup ideal di usia 25 tahun adalah mengantongi uang 100 juta ditabungan. Nyatanya? Boro-boro. Padahal, kerja sudah banting tulang, sakit punggung sudah langganan, life style seadanya tapi 100 juta masih terasa jauh diujung sana.

Rasa tertinggal muncul kembali; Mungkin kerjanya kurang keras? Mungkin harus cari tambahan? Eh, ginjal masih dua, nih?

Ternyata, syukur kita yang kurang. Pandangan kita yang terlalu tinggi melihat ke atas. Visi kita yang belum kita genggam. Sedangkan orang-orang yang sudah sampai pada titik ideal itu mungkin sudah punya visi sejak awal. Sehingga, mereka menggenjot sejak awal pula dan menjadikan mereka layak mendapatkannya.

Maka visiku berbeda. Bagiku, hidup ideal adalah tentang ketenangan. Banyak orang yang mengantongi lebih dari 100 juta namun hidupnya tak tenang, ada juga yang umurnya tak sampai untuk menggunakan uang ratusan jutanya. Untukku, hidup tenang adalah idaman.

Ketenangan tak selamanya muncul dari digit tabungan. Justru muncul saat yakin atas rezeki yang memang sudah dicukupkan, sehingga yakin apa yang aku butuhkan pasti Allah mudahkan dari rezeki-Nya. Ketenangan muncul saat yakin takdir yang aku jalani sekarang adalah takdir terbaik ku, sehingga aku tak perlu merasa kecewa.

Hidup ideal adalah saat orang-orang berlomba memakai handphone keluaran terbaru tapi aku tak mengikutinya karena merasa tak butuh. Hidup ideal adalah saat aku bisa meninggalkan helm ku dimotor tanpa harus menentengnya kemana-mana dengan alasan takut diambil orang. Hidup ideal adalah merasa aman setiap bulan tanpa terpikirkan hutang-piutang. Hidup ideal adalah mampu membagi mana hak ku sendiri dan hak orang lain tanpa merasa takut kekurangan. Hidup ideal adalah hidup tenang atas rasa cukup.

Aku yakin beberapa dari kalian pasti insecure. Wajar, gapapa,  memang manusia seperti itu. Tapi coba resapi lagi dan lagi. Mereka yang sudah di titik ideal itu mungkin harus berdarah-darah untuk mencapai titik idealnya. Sedangkan kita sudah diberi rasa cukup, maka itulah nikmat yang Allah berikan. Allah tidak mencondongkan hati kita pada dunia, justru Allah mencurahkan rasa cukup, sehingga kita selalu bersyukur atas apa yang kita dapat.

Jadi, selow aja. Yakini kita sudah ada di track yang benar. Benahi visi agar tak lagi merasa insecure atas pencapaian orang lain. Dan mari sama-sama berdoa, semoga Allah menambah tabungan kita 100 juta lebih tanpa kita harus berdarah-darah. Bersyukur harus, bermimpi juga harus pun doanya juga harus.

Pesanku, untuk diriku sendiri.

Saturday, April 10

Sejak 2013, baru terjawab

Ternyata, Allah sedang mengabulkan mimpiku pada hari ini.

Dari hanya 2 jam perjalanan pulang-pergiku mencari buku, aku mengingat-ingat kapan terakhir aku bersengaja mencari buku untuk dibaca, seperti hari ini. Bahkan sampai saat ini pun, aku masih tak ingat kapan tepatnya. Kesibukan ku sebagai mahasiswa Arsitektur memberi jarak antara hari ini dan hari terakhir aku excited pada bau tumpukan buku.

Sejak tahun 2014 hingga awal 2019, jangankan membaca dan menulis, bahkan tidur pun menjadi sesuatu yang sangat sulit. Aku sempat ingin menyerah karena merasa diri telah diremas waktu senggangnya, kebahagiannya pula rasa tenangnya. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk tetap lanjut dan menyelesaikan pendidikan atas dasar 'ingin segera selesai'.

Lulus kuliah, aku sempat linglung mau bekerja dimana atau usaha apa? Sempat juga bingung sebenarnya apa yang aku mau dari bekerja, selain penghasilan. Aku baru paham setelah banyak benturan, bahwa ternyata aku ingin belajar, bukan hanya dalam kubus Arsitektur namun juga kubus kehidupan. Dan maha baik Allah, keinginanku Allah kabulkan. Kini aku bekerja pada lingkup yang memberiku banyak pembelajaran dan membuatku bertumbuh.

Tahan, bukan mimpi ini yang membuat ku terkejut hari ini.

Sebelum memutuskan untuk masuk ke jurusan Arsitektur, aku sempat berada dipersimpangan jalan. Arsitektur atau Sastra. Jelas, aku sangat suka menulis juga membaca, aku begitu jatuh cinta pada aksara, kata, kalimat serta titik dan koma diantaranya. Namun, aku diusia 17 memiliki pemikiran yang luar biasa aneh. Katanya, "Aku mau keluar dari garis nyaman, aku mau jadi Arsitek yang juga menulis".

Ya, dia benar-benar keluar teramat jauh dari garis nyaman-nya.

Kini, setelah beberapa tahun terjeda untuk kembali membaca dan menulis, ada antrean buku yang sedang menunggu. Dan saat beberapa buku sedang mengantre untuk dibaca serta beberapa tulisan yang masih terlabel "draft", ada pula beberapa hasil kerja Ngarsitek-ku yang sedang dalam proses pembangunan. Dan itu, baru aku sadari saat 2 jam perjalan pulang-pergi.

Ternyata benar, takdir yang dijalani sekarang ini adalah takdir terbaik kita.

Sunday, February 28

Legowo

Bagaimana sih menjadi dewasa itu? Mengetahui yang benar dan bukan? Memilih yang baik atau tidak? Menjadi kuat? Menjadi bijak? Mampu berdiri di kaki sendiri?

Ternyata, menjadi dewasa berarti menerima.

Memilih adalah proses yang hasil dari pilihan itu, mau ternyata benar atau tidak, baik atau tidak, kita harus menerima. Karena, hidup tidak akan selalu benar, baik, kuat dan bijak. Justru yang selalu ada adalah sedih, kecewa, bingung, tergesa-gesa, takut, menyesal dan rasa sendiri. Maka, legowo.

Kedepannya, akan sedikit sedih, sedikit sulit, maka terima.

Sunday, February 14

Terjebak

Dari cukup banyaknya ini itu yang aku alami, aku percaya bahwa ternyata tak ada manusia yang jahat. Mereka sepenuhnya berhati baik, mereka sepenuhnya lembut juga rapuh. Sejatinya, tak ada orang yang berniat ingin menjadi orang yang jahat dan berbahagia atas itu.

Aku yakin, mereka hanya terjebak. Terjebak dalam ketidak mampuan, terjebak atas kerapuhannya sendiri.

Aku yakin, setiap dari kita yang pernah bertemu dengan manusia terjahat, tak sedikit yang terjahat itu menjadi manusia terbaik untuk orang lain. Atau, bisa jadi kita pernah menjadi penyeselan terbesar untuk orang lain namun kini menjadi orang yang paling banyak orang syukuri kehadirannya.

Orang yang ku kira jahat, mungkin hanya terjebak di pertemuan antara aku dan dirinya. Aku pun yakin, aku menjadi orang yang jahat untuknya pada pertemuan ini. Tidak salah, justru aku menjadi paham bahwa pertemuan ini hanya sebuah persimpangan, bukan ujung.

Dia tak jahat, aku pun tak jahat. Kami hanya bukan diperuntukan untuk masing-masing. Kami hanya perlu keluar, hanya perlu lepas agar berhenti terjebak.

Entah siapa yang duluan.