My photo
Mencari jawaban yang tertindih reruntuhan.

Sunday, December 16

Hujan Desember

Hari-hari lain di bulan Desember, lembab, sama seperti tahun lalu. Bulan ini, nimbus selalu bekerja lembur. Jalanan digenangi air hujan, selalu, setiap harinya. 
Senja tadi warna oranyenya dipadukan dengan lembutnya kabut, dengan dinginnya rintik-rintik hujan, dengan bau segar tanaman rindang - Suasana romantis untuk menyambut malam.
Cobalah untuk menari di bawah dentuman air hujan, menarilah bagai angsa putih. Kepakan sayap untuk terbang menuju kebebasan. Menarilah hingga bulan menunjukan cahayanya, di malam ini.
Hujan Desember ini menjadi obat penenang.

Wednesday, November 14

48 detik

Aku tahu dan sungguh aku mengerti, kita hanya cemburu dengan mereka yang mendapat kebahagiaan lebih. Dan memang aku cemburu atas dia, dia, dia yang duduk berdampingan di kursi taman, berbincang dan tentu mendapat kebahagiaan lebih. Aku ingin kembali seperti itu. Tapi entah, aku belum siap. Nyawa untuk mencintai tiba-tiba mati.

Thursday, November 8

Hari ini, kita saling menatap.

Hari ini, aku dan dirimu, kita, tak seperti biasa. Mata kita saling menatap, hati kita saling berbicara, namun tak ada yang berani berucap. Kita saling berhadapan, kita pula yang saling diam. Bukan egois, tapi memang aku tak mau memulai. Bukannya malu, tapi hanya tak ingin mengulang kesalahan. Bukan juga takut, hanya belum siap menerima hujatan kembali.

Aku terkunci oleh mu. Jika dirimu diam aku akan diam, bahkan hilang. Jika dirimu menyapa, aku akan memuji.

Aku mengerti, bahkan merasa, bahwa kecanggungan kita teramat samar. Tentang sapaan yang sulit tersampaikan, tentang lambaian tangan yang berat untuk terangkat dan tentang aku dan dirimu yang rumit atas kecanggungan.

Siapa yang akan menjawab atas apa yang menjadi kecanggungan kita di hari ini ? Hingga dirimu tak mencoba mengembangkan senyuman.

Jika semua ini hanya hayalan ku, bangunkan aku, mungkin aku terlalu percaya pada mereka yang menjadi hayalan ku. Jauhi aku karena aku tahu dirimu menyadari telah bermain peran dalam hayalan ku.

Sunday, October 14

Nadi ku dialiri darah rindu

Rindu ku masih sama seperti kemarin, masih begitu sulit untuk dihapus.  Masih menumpuk kenangan-kenangan yang ingin ku ulang. Selalu ku lihat langit beternak awan yang membentuk wajahmu. Aku berbisik pada desau-desau angin, merdunya mereka meniupkan nama mu. Tubuh kekar para pohon rindang terpaku melihat ku yang sendu sedang merindu.

Semalam, langit gelap itu begitu indah. Bulan sabit menjadi penerang malam, ia melengkung  seperti lengkungan senyum mu. Aku rindu pada mu, selalu, setiap malam. Taburan bintang membentuk jutaan rasi-rasi, berkilau terang membentuk wajah serupa wajahmu. Cahayanya bersinar indah layaknya aura mu. Akupun mengerti, nadi-nadi ku dialiri darah rindu padamu. Kau harus sadari, kau tak tercipta untuk ku. Kau tercipta untuk segera menjadi pemilik cintaku. Berlarilah menuju rangkulan cintaku yang rindu padamu.

Begitu cepat waktu berlalu. Aku tak mengerti mengapa matahari selalu ingin pulang ke peraduan. Lalu dengan cepat dia kembali dari persembunyian. Sama seperti mu. Kau selalu menghilang, membuat ku merindu. Bisa kah kau menetap dan jangan pernah pergi menghilang lagi ? Aku tak pernah menghianati firasat ku tentang mu. Dan firasat ku tak pernah ingin menghianati ku tentang kau yang lugu. Aku rindu padamu, harus ku ulang lagi ? Aku rindu padamu. Bisakah kau tuk cepat pulang ? Aku tak bisa menangis, bukan lawak jika aku menangis, dan tak akan pernah menjadi drama. 

Anggun namanya ketika aku mengangankan mu. Luarbiasa cepatnya bunga rindu ku tumbuh mengharapkan mu kembali sebagai anganku. Janganlah berdusta atas mimpi-mimpi yang mengisahkan kita. Pergi lah tapi untuk kembali, dan mari bercinta lagi dengan cinta-cinta yang tercinta. Aku merindu.

Akhirnya, bagai sungai yang mendamba samudra.
Ku tahu pasti kemana kan ku bermuara.
Semoga ada waktu sayangku.

Ku percaya alam pun berbahasa.
Ada makna di balik semua petanda.
Firasat ini rasa rindukah ataukah tanda bahaya
Aku tak peduli ku terus berlari

Cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasat ku ingin kau tuk
Cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi

***
Ini, aku tulis dari lirik lagu Firasat
Dengarkan lagunya sambil membaca kembali
Feel what I feel ?

Saturday, October 6

Benciku Merindukanmu

"Awalnya aku ingin membencimu, dan lalu melupakanmu"
"Kenapa ?"
"Sikap mu. Sikap mu kotor melebihi sampah"
"Lalu mengapa kamu, detik ini, masih duduk di samping orang bersikap sampah"
"Aku merindu. Itu menjadi kekhasan yang kamu miliki"

Rindu. 
Katakan padanya aku merindukannya.
Aku mohon berbisiklah padanya.
Aku butuh dekapannya.

Rindu.
Pertemukan aku pada bayangan.
Tikahkan aku dengan kebahagiaan.
Culik aku ke dalam kesunyian.

Tuesday, June 19

selamat datang Juni

Juni yang lalu, masih tercium bau parfum dari kaos hitam, masih terdengar pekikan tawa dari canda-canda yang membunuh kesunyian, masih pula terdengar langkah-langkah kaki yang menjauh pergi.

Di Juni sore lalu, tak hanya bayangan yang menjadi teman. Kau menjadi satu pelabuhan bagi ku. Melangkah bersama mengantarkan ku dalam dekapan menuju batas pemisah.

Masih di Juni lalu, ketika kita masih dapat bertatap muka, kau menjadi teman penghapus air mata. Ketika tangan mu masih menjaga ku pada malam-malam kelabu.

Wahai cinta terindah, aku masih dapat melihat mu walau seperti yang kau katakan, aku dapat melihat mu "meski dalam mimpi yang kata orang semu". Dalam mimpi yang menggantung semu, aku merasakan dekapan hangat tangan seorang penjaga hati. Aku melihat raut wajah seorang  pemimpi dengan kucuran peluh. Aku masih dapat melihat mu, meski dalam mimpi yang kata orang semu.

Aku tahu, malam akan selalu gelap, tapi siang tak selamanya terang. Aku berkata begitu lugu seperti siang yang sendu. Kini tangis tak lagi menjadi pelepas sakit, meskipun kau menangis menjerit-jerit. Kata bukan lagi pengungkap rasa. Hanya mimpi yang kata dia, mereka dan dirimu semu, yang menjadi satu tempat peraduan kisah cinta antara seorang Romeo dan Juliet.

"Kau masih ingat ketika tangan mu menggenggam tangan ku, ketika kita berada di batas waktu ? Aku tak mau melepasnya. Saat itu aku benar-benar ingin menangis dan aku benar-benar tak mau merasa sendiri". Kau hanya diam, menunggu angin berhenti berhembus, dan berucap "Kita pasti kuat, sayang".

Kesendirian masih menjadi sebuah momok bagi ku, menjadi sebuah rasa sakit yang menyayat hati, kepercayaan dan cinta seorang kekasih. Namun kau, penjaga hati, menjadi sebuah obat bagi luka-luka sayatan yang bercucuran darah merah kental.

Bukankah cinta ini tak pernah mati meski terkubur dalam hati ? Bukankah kita masih dapat bercumbu di mimpi-mimpi penenang hati ?

Wahai cinta yang berada jauh, tunggulah para bidadari yang mendekap rindu seorang kekasih. Sajikan secangkir cinta pada mereka dan bawalah rindu yang mereka dekap. Peluk lah rindu ku yang pasti kian memburu. Aku menunggu bersama bayangan hangat, bersama cinta yang teraduk dalam secangkir rindu.

Satu, dua, tiga, empat, lima hari aku lalui dengan kepercayaan penuh dan dengan kenangan yang kudekap dalam hangatnya senja. Satu, dua, tiga, empat, lima minggu kau menjadi pengatur hati dikala siang yang terang dan di malam yang padam. Dan kini, di dua belas bulan ini, kau dan aku mengecup kata, memeluk suara, dan membentang rindu.

Jingga cakrawa membentang disepanjang pandangan, awan-awan yang putih kini meoranyekan diri. Saatnya menutup pintu dari dinginnya malam yang dijemput senja. Tetaplah menunggu para bidadari pembawa rindu, mari kembali menghitung waktu yang berlalu. Aku tetap rindu mencintaimu.

Rindu yang tak pernah mati
Dalam Juni yang dinanti

Sunday, June 10

Umur mempengaruhi cinta kita ?

"Kau lelah, Rosa ?"
"Tentu tidak, mereka membuat ku tertawa seharian ini"
"Jangan terlalu bersemangat seperti itu, kita sudah tak muda"
"Aku tahu, tapi mereka membuat ku seperti muda kembali"

Seperti biasa, Rosa pasti akan mengatakan itu. Aku tau, mereka, anak-cucu kami, akan membuat Rosa berbahagia. Pagi tadi anak kami satu-satunya datang mengunjungi ku dan Rosa dengan suaminya dan 2 anak laki-lakinya. Senyum yang mengembang timbul di wajah Rosa bersama keriput-keriput wajah yang mulai menampakan dirinya. Bermain bersama cucu-cucunya akan membuat Rosa bahagia, aku tahu itu.

Sudah 34 tahun kami bersama, menitik hari demi hari dengan cinta yang tumbuh berkembang. Bukan hal yang mudah untuk dapat bersama-sama selama 34 tahun, itu bukan waktu yang singkat. Aku harus banting tulang untuk dapat membahagiakan Rosa yang muda sampai menjadi Rosa yang berumur seperti ini. Dan dia, Rosa, selalu berusaha membuatku nyaman, bersemangat, dan selalu tetap mencintainya.

Aku tahu akan ada perpisahan diantara aku dan Rosa, dan aku juga tahu bahwa tak ada perpisahan yang indah. Dimanapun kau bernafas, berdiam diri bahkan berlari, perpisahan merupakan kesedihan yang tak bisa dihindari. Aku dan Rosa tak menginginkan perpisahan, siapa yang mau berpisah dengan orang yang mereka cintai ? Karena aku tahu perpisahan itu akan datang, aku selalu berterimakasih ketika Rosa, wanita yang sangat ku cintai masih tetap berada di samping ku. 

"Cinta diantara kita masih tetap ada kan, Rosa ?"
"Hahahaha, kau bicara tentang cinta ? Pada umur 61 tahun?"
"Apakah umur mempengaruhi cinta kita ?"
"Kau berkata apa, Erik ?"
"Apakah cinta diantara kita masih ada ?"

Aku serius bertanya hal ini pada Rosa, tapi dia hanya terdiam. Aku tak mengerti apa arti dari kediamannya, banyak kemungkinan. 'Mungkin dia bingung', 'Mungkin dia sedang berfikir', 'Mungkin dia lelah', 'Mungin dia malu untuk berbicara', 'Atau mungkin jawabannya adalah ; Tidak'. Aku mulai tak mau menebak, aku hanya menunggu sampai Rosa berbicara.

"Kau masih ingat dengan lagu di masa muda kita berdua, Erik ?"
"Lagu ?"
"My first love, you're every breath that I take, you're every step I make. Ingat ?"
"Hahaha, ya aku mengingatnya. Ketika akhir pesta pernikahan kita bukan ?"
"Iya, ketika kita berdansa di tengah-tengah kebahagiaan"
"Kau mau mengulangnya lagi, Rosa ?"
"Dengan senang hati, Erik"

Aku berdansa dengan Rosa, persis ketika muda dulu. Walau dia sudah berumur, berkeriput, tapi kecantikannya tak pernah terhapus. Aku mengerti sekarang, tak ada setitik cinta pun  yang mati diantara aku dan Rosa. Rosa, you're my first and my last love.

And I, I want to share all my love with you

No one else will do
And your eyes
They tell me how much you care
You will always be
My endless love

Sunday, April 22

Yes, I will Tio

Aku tak bermain dengan perasaan ini, yang sebenarnya terjadi adalah perasaan ini yang mempermainkan ku. Aku bisa menghancurkan segalanya agar perasaan ini tetap utuh, aku tak mau ada goresan walaupun itu hanya secuil. Perasaan ini memang datang begitu saja. Jujur, aku tak pernah mengharapkannya datang. Dia sendiri yang membuka pintu dan masuk begitu saja.

Sedikit tertawa membaca secarik surat darinya, aku tak menyangka dia bisa merangkai kata-kata. Dia menulisnya dengan tangannya sendiri, tulisannya begitu rapih. Aku kira dia memang berniat untuk menulis surat ini. Ditambah surat yang dibuatnya untuk ku itu sedikit berbau parfum yang sering dipakainya setiap hari.

Seperti para Arjuna lain, mereka akan menyeberangi lautan dan mendaki gunung untuk para wanita yang mereka cintai. Tapi aku akan melakukan lebih. Aku akan membelah langit, melukis pelangi, menebar butiran-butiran hujan ketika kau bermain dengan ku  di taman sebelah rumah mu. Ya aku tahu kau akan menganggapnya sebuah gombalan saja. Tapi bagaimana jika aku sekarang mengetuk pintu kamar mu dan menarik mu untuk pergi ke taman itu. Hanya bayangkan saja, karena aku tak mungkin melakukannya. Aku masih ada di Eropa sekarang.

Dia memang berada di Eropa, sedang menyelesaikan kuliahnya. Dan aku memang sedang membayangkan ketika dia mengetuk pintu dan menarik ku ke taman sebelah rumah. Berpiknik dengan langit yang biru dan angin yang selalu berbisik, seperti mengucapkan "He loves you, Nenet".

Hey, apa kau ingat saat kita duduk bangku restoran ? Menatap pemandangan yang ada di bawah restoran ? Ketika kau berkata "Tio, I love you. Stay here with me" ? Kau tahu ? Aku menahan tawa saat itu. Kau tak pantas berkata seperti itu, tak ada sifat romantis pada dirimu ! Kau hanya memaksakan, Nenet. Tapi aku suka.

Berbulan-bulan di Eropa membuatku merindukan mu. Aku rindu dengan tangis mu, dengan sifat manja mu, dengan celoteh mu, dan dengan rambut lembut mu. Hal yang paling ku rindukan adalah kecantikan mu, aku suka mata mu, hidung mu, pipi mu, bibir mu, halis mu. Aku suka dirimu.

Aku akan pulang dalam beberapa hari lagi, kau tetap menunggu, kan ? Aku mempunyai beberapa hadiah untuk mu. Ada sebuah gitar untuk mu, aku membelinya khusus hanya untuk mu. 

"Aku juga merindukan mu, Tio" Jawab ku, berharap dia mendengarnya. Sudah berbulan-bulan aku tak bertemu dengannya, dia sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya dan aku pun begitu. Kata terakhir yang dia katakan sebelum pergi adalah : "Aku akan merindukan mu, Nenet. Tunggu aku, jangan nakal".

Nenet, kau pernah membayangkan saat kau memakai gaun putih dengan serangkaian bunga di genggaman tangan mu dan kau berjalan menuju pelaminan ? Kau pernah membayangkan ? Apa kau menginginkannya ? Jika kau mau, aku siap menunggu mu di pelaminan dengan jas hitam ku.

Terkejut membacanya, dia berkata pelaminan ? Dia sedang berbicara tentang pernikahan. Tentang sepasang manusia yang mengucapkan janji sehidup-semati. Aku tak tahu apa Tio serius dengan perkataanya atau tidak. 

Aku bicara serius, sudah ku bilang aku tak bermain dengan perasaan ini. Kau tahu pantai yang ada di utara rumah mu ? Bagaimana jika nanti kita berlibur disana saat aku pulang nanti. Akan aku bawa gitar yang menjadi hadiah mu dan akan aku bawa sebuah gaun putih yang sudah aku rancang untuk mu. Aku yakin kau akan terlihat lebih cantik memakainya.

Dan tak lupa aku akan membawa sebuah cincin dan akan aku pakaikan di jari manis mu. Dan aku akan bertanya "Will you marry me ?"
 Aku tunggu di pantai. I love you, Nenet

Dia mengucapkannya ? "Yes, I will Tio. Love you too"

Surat beramplop merah
22 April 2012

Sunday, April 8

Aku harus pulang, walau hanya ditemani hujan


Lampu merah baru saja menyala, hanya beberapa detik yang lalu. Tak ada seorang pun yang menghampiri dengan tangan yang meminta, para pengemis itu hanya terduduk di kolong jalan layang. Aku melihatnya dibalik kaca yang gelap dengan butiran-butiran air hujan. Mungkin hujan ini menghalangi mereka meminta recehan, maklum, hujan ini cukup deras dengan ledakan-ledakan petir dan cahaya-cahaya kilat yang menerobos langit nan gelap.

"Dua hari ini hujannya gede yah, Neng ?" Kata supir taksi di depan ku. "Iya, Pak" jawab ku sambil terus memandangi hujan di jendela kanan taksi ini. Supir taksi itu tak berkata apapun lagi, dia hanya memandangi lampu merah di depan jalan sana. Mungkin supir taksi itu mengerti bahwa dia tak seharusnya berbicara saat ini, dia tak mau mengganggu seorang wanita muda yang sedang mengharap ketenangan. Supir taksi itu tetap diam menunggu lampu hijau menyala. Aku, dibelakangnya, tetap memandang hujan dari jendela kanan taksi ini.

Lampu hijau menyala, seirama dengan telefon genggam ku yang berdering, seseorang menghubungiku. "Bara ? Bajingan !" Gerutu ku mengetahui Bara, lelaki yang tadi ku lihat, menelfon ku. Aku tak menjawab telfonnya, aku kembali memandang hujan, kini dengan air hangat mengalir keluar dari mataku. Taksi yang aku tumpangi terus berjalan bersama dengan ratusan kendaraan lainnya. Kini aku terisak, berharap suara hujan serta petir menutupi suara tangis ku.

Telefon genggam ku kembali berdering, kini sebuah pesan : "Maafkan aku, ini tak seperti yang kau lihat"

Aku hanya membacanya, "Sebuah alibi para lelaki", tanggap ku membaca pesan Bara. Aku tak membalasnya, cukup membacanya. Aku kira, diam dan tak acuh kepadanya memang pantas aku lakukan setelah perbuatannya kepadaku, setelah kejadian tadi yang ku lihat.

Ini siang hari yang begitu cerah, berbeda dengan kemarin yang mendung berawan. Aku pergi ke toko bunga di persimpangan jalan, bukan untuk membeli bunga, tapi untuk bekerja. Ya, aku bekerja di toko bunga. Menghias bunga, membungkusnya, dan menjualnya. Walau upahnya tak seberapa, tapi aku menyukainya. Bunga dimana-mana, indah bukan ?

"Siang Bella" Sapa ku pada Bella, kasir toko bunga ini. Tak ada yang berbeda dengannya. Masih dengan wajah yang dingin, tanpa senyuman walau hari secerah siang ini. Aku pergi ke belakang toko ini, mengambil beberapa jenis bunga. Aku menatanya dalam sebuah vas bunga, berharap memberikan rasa kebahagiaan dan bisa laku terjual. 

Seharian penuh aku menata, menghias, dan menjual beberapa bunga. Sampai akhirnya aku mengingat seorang lelaki, Bara, lelaki dengan wajah yang tampan yang menjadi kekasihku selama sebulan ini. Tak ada kabar darinya. "Sesibuk apakah ?" batin ku bertanya. Aku mencoba menghubunginya. Menelfonnya, tak ada jawaban. Aku mencoba mengirimkan pesan, "Selamat sore, Bara. Kau tak lupa dengan ku, kan ?". Kembali tak ada jawaban. 

Memang, dari seminggu yang lalu Bara sangat berubah. Tak ada pesan, tak ada sapaan, tak ada kata-kata cinta lagi darinya. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Aku hanya bisa berharap.

Ini saatnya aku pulang, senja telah datang, langit pun tak secerah tadi siang. Aku harus pulang. "Kau mau menemaniku membeli makanan ?" tanya Bella padaku. "Kau .. mengajak ku ... makan ?" tanya ku heran. Bella adalah wanita yang sangat dingin, cuek, dia tak pernah menganggapku ada. Dan sekarang dia mengajak ku makan ? Aneh.
  
"Kau tak mau ?"
"Oh, tidak. Aku mau, ko. Aku akan membereskan barang-barang ku dulu"
"Baiklah. Jangan lama ! Aku tak mau lumutan"

Bella kembali duduk di bangku kasirnya, kini dengan headphone yang ada ditelinganya. Mendengarkan lagu adalah salah satu dari kegiatannya sehari-hari. Aku membereskan barang-barangku. Mengambil telefon genggam ku, berharap Bara membalas pesan ku. Nihil, tak ada satu pesan pun yang masuk. "Apa yang sebenarnya sedang dia lakukan ?" tanyaku dalam batin, mulai kesal.

Aku dan Bella pergi mencari makan, walau langit menggelap, aku dan Bella tetap berjalan mencari tempat makan. Di ujung jalan kami menemukan tempat makan ala Jepang, makanan kesukaan Bara. Bella mengajak ku masuk, dia memesan makanan, termasuk makanan ku. Kami menunggu di meja paling pojok dekat jendela. Bella duduk di depan ku, kami saling berhadapan. Disini aku bisa melihat hampir semua kegiatan para pengunjung di tempat makan ini.

Di depan ku, persis 2 meja di depan ku, aku melihat seorang wanita yang sangat cantik. Didepannya duduk seorang laki-laki tinggi, ini berarti laki-laki itu duduk membelakangiku. "Rambutnya mengingatkan ku pada Bara" batin ku berbicara melihat rambut pendek laki-laki itu. Sepertinya, mereka adalah pasangan kekasih. Tangan kanan lelaki itu tiba-tiba meraih tangan halus sang wanita. Mereka sedang berkencan.

"Kau melihat apa ?" Bella memulai pembicaraan.
"Hah ? Tidak .. hanya ..."
"Kau baik-baik saja ?"
"Aku ? Iya, aku baik-baik saja" 

Bella hanya tersenyum. Sifat Bella sangat berbeda, entah kenapa dia tiba-tiba tersenyum kepada ku.

Aku kembali melihat pada pasangan didepan ku. Wanita dengan rambut terurai panjang itu memasang wajah bahagia, senyum yang mengembang menghiasi wajah cantiknya. Pantas saja, lelaki yang ada di depannya kini memegang erat tangannya. Kini bukan hanya tangan kanan nya yang memegang erat tangan wanita itu, tangan kirinya pun memegang tangan wanita itu. Seperti tak mau lepas. Diluar, hujan kembali menggelegar seperti kemarin pagi, siang dan malam.

"Aku selalu menyempatkan makan ditempat ini setelah pulang kerja. Hampir setiap hari. Jadi aku tahu apapun yang telah terjadi di tempat makan ini"
"Dan kau baru mengajak ku makan sekarang ? Mengapa ?"
"Aku mencari waktu yang tepat"
"Maksud mu ?"
"Aku harus mencari waktu yang tepat, kapan kau telah siap"
"Aku ? Siap ? Untuk apa ?"
"Kau lihat sepasang kekasih di depan sana ? Lihat ada apa di pergelangan tangan lelaki itu"

Aku melihat kembali lelaki di depan sana, dia masih memegang tangan wanita di depannya. Aku memperhatikan pergelangan tangannya, yang kanan, dan yang kiri. Sebuah jam tangan berwarna hitam dengan sedikit bagian berwarna kuning dipakai di pergelangan tangan kirinya. Seperti jam tangan Bara yang aku belikan seminggu kemarin.

"Hanya sebuah jam tangan"
"Kau tak ingat jam tangan itu ?"
"Tunggu, kau mengira itu Bara ?"
"Itu memang Bara, kekasih mu yang sekaligus menjadi kekasih wanita berambut panjang itu"
"Bara tak mungkin seperti itu !"

Entah apa yang membuat Bella berkata seperti itu, tapi aku yakin Bara sedang bekerja di kantornya. Dia tak mungkin berselingkuh dengan wanita itu. Aku mulai resah. "Sebentar lagi lelaki itu akan keluar dari kursinya, dia akan berpindah tempat duduk di samping wanita itu. Kau akan tahu persis siapa dia" Jelas Bella tersenyum nakal. Dia seperti puas menakut-nakutiku.


Aku hanya diam, memperhatikan lelaki itu. Benar saja, lelaki itu melepas genggaman tangannya, dia keluar dari kursinya dan duduk persis di samping wanita itu. Aku memandang wajah lelaki itu. Bara. 

Lelaki itu Bara. 
Kekasih ku, yang kini menjadi kekasih wanita itu. 
Aku terus memandangi wajahnya, menatapnya hingga aku menangis, sedikit menangis. 
Lelaki itu, Bara, menyadari tatapanku. 
Dia melihatku. 
Kami saling memandang.
Aku tetap menangis.

Aku mengeluarkan uang Rp. 100. 000,- dan aku simpan di meja, aku langsung berlari meninggalkan Bella dan meninggalkan Bara dengan wanitanya. Aku tak mau melihat lelaki bajingan seperti Bara. Aku harus pulang, walau hanya ditemani hujan.

Telefon genggam ku kembali berdering, kembali sebuah pesan dari Bara : "Kau tak mau memaafkan aku ?" Aku kembali tak mengacuhkan pesannya. Aku hanya ingin pulang dan menangis sekencang-kencangnya.

Terkhianati.
Kecewa.
Siapapun akan menangis.

Setitik harapan, 8 April 2012
Teruntuk : dia yang menjadi Bara

Friday, March 16

Good night, Dimar


“Kau tahu berapa banyak bintang yang ada dilangit sana ?”
“Tidak, aku tak pernah menghitungnya”
“Kau tak ingin tahu ?”
“Tidak, sebelum kau menanyakan ini kepada ku”
“Jadi sekarang kau ingin tahu ?”
“Iya. Dan aku berharap kau mengetahuinya”
“Harapan mu sia-sia. Aku tak mengetahuinya”
“Lalu mengapa kau menanyakan ini kepadaku ?”
“Aku ingin menghitung semua bintang itu bersamamu”

‘Bukankah indah jika kita bersama-sama menghitung bintang di malam ini ?’ batin ku berbicara. Dimar memeluk ku semakin erat, mungkin dia mengerti. “Erena, kau menggoda ku ?” tanya Dimar sedikit tertawa.

Ini bukan sabtu malam, aku tak menikmati sabtu malam. Ini minggu malam.
Ini bukan di cafe, taman ataupun tempat-tempat lainnya. Ini di teras kamar ku, lantai dua rumah ku.

“Aku tak menggoda mu. Kamu saja yang terlalu ke-GR-an” jawab ku, lirih.
“Baiklah, kita abaikan soal bintang-bintang ini. Apakah kau pernah menghitung ?”
“Menghitung apa maksud mu ?”
“Menghitung seberapa besar cinta dan kasih sayang ku kepada mu. Pernahkah ?”
“Aku tak mau menghitungnya. Akan aku biarkan cinta mu terus bertambah banyak kepadaku, seperti cintaku kepadamu.”

Dimar tertawa lagi, kini dengan bebas. “Erena, kau ini kenapa ?” Tanya Dimar melepas pelukannya dan menatap mataku dengan senyum lebar. Aku tak menjawab apapun, aku hanya diam menatap matanya. “Erena, kau baik-baik saja ?” Tanya Dimar lagi, sedikit khawatir dengan ke-diaman ku. “Aku mencintai mu” Jawab ku pelan.

Dimar menatap mataku lagi, kini begitu dalam. Dia mencium bibir ku, lembut. “Aku juga mencintai mu” Katanya, melepas ciumannya.

Kami saling menatap, Dimar tersenyum.

“Aku tak mau tahu ! Jika aku hamil, kau harus tanggung jawab !” Kata ku, sedikit marah.
“Hey, berciuman tak akan membuat hamil” Dimar tertawa lagi.
“Aku tak mau tahu !” Jawab ku, sambil memalingkan wajah.
“Baiklah. Aku akan bertanggung jawab dengan menikahimu jika nanti kau hamil”
“Kau janji ?”
“Janji. Bahkan, jika aku harus menikahimu sekarang, aku siap”

Dimar kembali memeluk ku, kini begitu erat. Dimar adalah kekasihku, lelaki terhebat ke-dua setelah ayahku. Dia mencintaiku, aku pun begitu.

“Bila ibu merestui” Jawab ku “Aku tak mengerti kenapa ibu tidak merestui kita” lanjut ku menatap wajah Dimar.

Dimar menghela nafas “Andai saja aku tak terlahir di panti asuhan. Andai saja aku mempunyai keluarga yang bisa menjagaku dan membesarkan ku, aku pasti tak harus jadi seperti ini. Berkeliaran di jalan, menjadi pedagang asongan, menjadi tukang koran, atau menjadi pencuri di bis kota. Jika aku berada di keluarga yang benar, ibu mu pasti merestui” Jawab Dimar.
“Kau membahasnya lagi, Dimar”
“Erena, ini kenyataan. Ibu mu pasti tak ingin kau berhubungan dengan lelaki yang tinggal dijalanan”
“Aku tak peduli”
“Tapi ibu mu peduli”

Angin berhembus, sangat dingin, angin malam yang dingin.

“Ibu mu sangat peduli, Erena” Dimar melepas jaketnya, memakaikannya kepadaku. “Kau kedinginan ?” lanjutnya.
“Dimar, kau akan pergi ?”
“Pergi ? Dari mu ? Tak akan pernah”
“Kau akan tetap tinggal walau tanpa restu ibu ku, kan ?”
“Tentu, Erena. Tapi  nanti, aku akan menunjukan kepada ibumu bahwa aku layak untuk bersamamu”
“Caranya ?”
“Aku akan menunjukan seberapa besar cinta ku kepada mu. Aku akan membawa ribuan bunga dengan berbagai jenis. Aku akan membawa emas yang banyak. Suatu saat nanti”

“Kau bercanda ?” Jawab ku, tertawa.
“Erena, aku serius. Lihat saja nanti”

Malam begitu panjang, kami terus berbincang. Dimar menjadi bintang di malam-malam ku, dia menjadi penghias hari ku. Aku tahu dia menyayangiku, buktinya sudah 1 tahun lebih dia bersama ku. Aku senang bisa menjadi kekasihnya, aku mendapat cinta yang begitu tulus darinya. Damar masih memeluk ku, jaketnya masih ada ditubuh ku. Entah berapa lama kami berpelukan, tapi aku tak ingin melepasnya.
Ayam berkokok.

“Kau dengar itu ?” Tanya Dimar, “Apakah ini sudah pagi ?”
“Aku tak tahu”
“Pukul berapa sekarang ?”
“Satu malam”
“Apa ?”
Dimar melepas pelukannya, “Kau harus tidur, Erena”
“Tidak, aku masih ingin bersamamu”
“Ini sudah jam satu malam, Erena. Besok pagi kau harus pergi sekolah”
“Aku tetap tidak mau”

Dimar tak menjawab apapun, angin malam kembali berhembus disertai suara ayam yang berkokok.

“Baiklah ...” Dimar berdiri, dia menghela nafas.
“Hey apa yang kau lakukan ?” Tanya ku kaget, Dimar tiba-tiba menggendong ku.
“Aku akan membawa mu ke tempat tidur, kau harus tidur”
“Aku tak mau”
“Harus mau, kau harus patuh padaku”
Jawabnya sambil berjalan masuk ke kamar ku.

Dimar memasuki kamar ku, dia berjalan begitu pelan. Dimar menghampiri tempat tidurku, meletakkan ku di atas tempat tidur itu dengan hati-hati. Menyelimuti ku dengan selimut yang lembut. “Kau tahu, Erena ? Malam ini malam yang paling indah. Aku mencintaimu” Kata Dimar sambil mencium keningku. “Tidur yang nyenyak, mimpi indah, aku akan pulang” Lanjut Dimar mengelus pipiku.

Dimar pergi dari kamar ku, menuruni loteng rumah melalui tembok tinggi, melewati pagar rumah. “Good night, Erena. Aku mencintaimu” Teriak Dimar sambil berlari untuk pulang.

‘Aku mencintaimu juga. Good night, Dimar’

Friday, January 13

Hanya Tuhan Yang Tahu #6


Ibu sedang mengupas apel dan memotongnya menjadi empat bagian. Ayah sedang duduk tertidur di sofa dekat jendela. Kak Damar memainkan handphonenya di samping ayah. Raja masih duduk di samping gue, dan masih memegang gitar.

“Ko ibu di sini ? Acara promosinya gimana ?” Tanya gue, heran.
“Acara promosinya udah selesai, ko. Tadi pagi pas kamu masih tidur” jawab ibu.

Gue tahu ibu bohong. Gue yakin ayah sama ibu ngebatalin acara promosi mereka, gue yakin. Dan gue juga yakin itu semua gara-gara gue dan teman baik gue, Kanker. Gue tahu gara-gara kanker ini datang lagi mereka jadi ngebatalin acara mereka, gue tahu.

“Azki tahu ibu bohong, Azki tahu ibu ngebatalin acara promosinya” Gue memulai cerita, Ibu diam, Raja menunduk, dan Kak Damar menyimpan handphonennya.
“Maafin Azki, gara-gara Azki uang ayah sama ibu jadi ke buang buat ngebatalin acara promosi. Maafin Azki yang suka ngerepotin ayah sama ibu. Maafin Azki. Azki tahu ayah, ibu, kak Damar, bahkan Raja pasti ngerasa kerepotan dengan Azki yang sekarang. Tapi maafin Azki juga, ini bukan keinginan Azki” Kata gue, malu.

“Kita sayang Azki, ayah, ibu, kak Damar dan Raja sayang Azki. Semua temen Azki juga pada sayang sama Azki. Ga ada rasa repot atau rasa kesal buat ngebantuin Azki” Kata ayah terbangun dari tidurnya, berusaha menenangkan.

“Tapi ini udah dua tahun setengah, yah. Sudah lama, sangat lama. Azki udah cape dengan ini semua, Azki juga yakin kalian cape. Maafin Azki, maafin Azki untuk dua tahun setengah ini” Jawab gue, penuh rasa malu, malu karna gue selalu ngerepotin mereka. Gue ga pernah bisa mandiri. Nangis, gue nangis, di depan Ibu, Ayah, Kak Damar dan Raja.

“Ini udah terjadi, ini rencana Tuhan. Kamu harus terima, Ki. Tuhan punya lembaran cerita lain di buku dongengnya. Kamu harus berusaha, bukan menyerah dan hanya meminta maaf seperti ini. Kalo Ibu, Kak Damar, Raja, teman-teman kamu dan juga Ayah selalu berusaha untuk kamu, tapi kenapa kamu sendiri malah hanya menyerah seperti ini. Ayah tahu kamu cape, tapi apa kamu ga malu sama penyakit kamu itu ? Kamu rela dianggap kalah oleh penyakit mu itu ? Kamu harusnya bisa menang, jangan hanya diam dan mengalah”

Kata-kata ayah memang meyakinkan, sangat meyakinkan. Malu jika gue harus kalah dengan satu penyakit ganas, Kanker. Tapi apa gue bisa ngelawan penyakit ini ? Penyakit yang jadi sahabat gue selama dua tahun setengah ini ? apa bisa ?

“Maafkan Azki kalo ...”
“Cukup, Azki !” Kata ibu tiba-tiba, memotong perkataan. “Ga ada yang harus dimaafkan ! Ini bukan salah kamu ! Mungkin ini salah ibu !” Ibu menangis, entah apa yang ibu pikirkan. “Azki, cukup menyesalnya, cukup tangisannya ! ini sudah terjadi ! Ibu mohon !”

Kanker ini ngebuat semua orang sedih, Ibu, Ayah, Kak Damar, Raja dan gue.

Gue sadar, apapun yang Tuhan kasih ke gue, gue harus terima. Jika itu kesenangan, manfaatkan kesenangan itu sebaik mungkin. Tapi jika itu kesedihan, jadikan sebagai alat untuk membuat mu kuat, semakin kuat, lebih kuat dari kamu yang kemarin.

“Ini memang sudah sangat lama, sudah hampir tiga tahun. Tapi apa pentingnya tiga tahun ? Kamu masih punya tahun-tahun yang lain, sebelum dan sesudahnya” Ibu mengambil sesuatu di tasnya, album foto. “Lihat, Ki ! Kamu ga berubah !”

Ibu membuka halaman pertama album foto itu.
Ada bayi, memakai baju merah. Dan itu gue.
Selanjutnya, gue yang ngebuka halaman per halaman album foto itu.
Semuanya foto gue, dari bayi sampe sekarang.
Ada foto ketika gue ulang tahun, 9 tahun. Gaun biru, kue ulang tahun, dan lilin angka 9.

“Ini Azki ?”

Ada juga foto ketika gue lagi main ke pantai, Pangandaran tepatnya.
Ada Ibu, Ayah, Kak Damar, dan Nenek.
Itu 3 tahun yang lalu, ketika gue belum kenal sama kanker.

Foto lainnya, ada Jani, Salma dan Ana. Foto pas pertama kali masuk SMA.
Ada juga foto ulang tahun ayah, ada nenek sama kakek.
Yang lainnya, ada foto Kak Damar dan Raja yang keliatannya lagi main gitar.

Semua sama, masih ada Ibu, Ayah, Kak Damar, Nenek, Kakek, Jani, Salma, Ana dan Raja. Apa yang ibu bilang bener, “Ga ada yang berubah”.

“Terimakasih atas 3 tahun kebahagiaan, atau bahkan lebih. Hampir 17 tahun dari pertama Azki lahir, banyak sekali kebahagiaan. Terimakasih, Bu”

Ibu diam ngedenger gue ngomong kaya gitu, air matanya berhenti menetes. Kini bibirnya mengembang, dia tersenyum.

“Sama-sama, Azki. Tapi asal kamu tahu, sumber kebahagiaan itu, kamu sendiri” Jawab ibu, sambil meluk gue.

“Hangat”

*****

Sore ini sangat sepi, ayah dan ibu pergi menemui dokter. Kak Damar dan Raja pergi, entah kemana. Gue cuman sendiri di ruangan hijau ini.

Jendela di depan begitu besar, terlihat awan yang coklat keemasan. Ada taman di luar sana, banyak sekali anak kecil bermain di sana. “Sore yang indah”

Kak Damar datang bersama Raja yang membawa gitar.

“Azki liat apa kamu ?” Tanya kak Damar.
“Di luar ada taman, Azki pengen kesana. Boleh yah ?” rayu gue.
“Tapi ditemenin Raja yah ? Ja, lo mau kan nemenin Azki?”
“Ayo aja ! Lo mau main kesana, ki ?” Tanya Raja sambil menunjuk taman di luar jendela.

.......

Bener apa yang gue pikirin, taman ini begitu luas. Banyak anak kecil yang bermain di sini. Raja duduk di bangku taman, di sebelahnya ada gitar, gitar milik Raja. Sedangkan gue duduk di kursi roda, di samping raja.

“Tau ga, Ki ? Gue lebih suka kalo lo botak kaya gini” Ejek Raja
“Tau ga, Ja ? Gue tuh yah mau diapa-apain juga tetep kece, jadi lo ga usah heran”
“Pasti aja, PD-nya out of box”

Gue diem. Raja ngambil gitarnya, dia bermain gitar lagi.
Seperti biasa, alunan suara gitar Raja menghangatkan suasana, menghangatkan sore ini.

“Bukan aku yang memulai, tapi cinta yang mengenalkan. Memanggil di kesunyian malam, tanpa takut menghilang”

“Ja, itu kan ? Lirik puisi gue ?” tanya gue heran, menghentikan lagunya.
“Iya, emang. Keren kan ?”
“Ko lo bisa ?”
“Asal lo tau, gue sama Damar punya band. Makannya gue bisa kenal Damar sebelum gue kenal lo”
“Kak Damar ? Ngeband ?”
“Iya, Damar jadi vokalis”

Kaget ngedenger Kak Damar punya band, pantes aja Kak Damar sama Raja deket banget. Memang, Kak Damar punya suara yang lumayan. Suara indah ibu menurun ke Kak Damar.

“Tadi gue juga mimpi ada yang nyanyi pake lirik puisi gue”
“Hah ? serius ? siapa ?”
“Burung, ga tau burung apa. Merdu banget. Dan pas gue bangun, yang gue liat cuman lo sama gitar lo”
“Berarti burung yang lo mimpiin itu gue ! Gue tadi juga nyanyiin lagu ini pas lo tidur”

“Jadi, yang ngebangunin gue itu Raja ? Raja dengan gitarnya?”

“Ah, syukur deh, lagu ini bisa ngebangunin lo, Ki. Makannya, lo tuh kalo tidur jangan lama-lama !” Lanjut Raja.
“Jujur, tapi gue lebih suka tidur. Ga ada rasa sakit, kecewa, atau sedih. Cuman ada kebahagiaan. Ketika tidur dan mimpi, gue ga pernah liat ibu atau ayah sedih. Tapi ketika gue bangun, hampir setiap hari gue ngeliat mereka sedih. Gue lebih suka tidur” Jelas gue ke Raja.

Raja diem, dia ngeliatin gue, matanya fokus ke mata gue.
Dia meluk gue. Hangat. Hangat banget.

“Gue sayang sama lo, Ki”


Azki Pranata Dewi